Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mahalnya Ongkos Kemanusiaan Konflik Rusia-Ukraina

27 Februari 2022   10:36 Diperbarui: 28 Februari 2022   11:50 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Rusia Vladimir Putin di konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz, 15/02/22. | (AP Photo/Sergey Guneev)

Dalam setiap agresi, gajah akan bertarung lawan gajah. Adapun pelanduk selalu mati di tengah-tengah. Peperangan hanya akan meninggalkan penderitaan dan kehancuran, apa pun alasannya.

Sirine udara tak henti meraung-raung di ibu kota Ukraina, Kiev, sepanjang Kamis 24 Februari 2022 lalu. Skenario berdarah yang telah lama ditakutkan publik global saat ini telah terpampang di depan mata.

Matahari bahkan belum menampakkan seringainya di ufuk timur, tetapi warga kota itu telah dibangunkan dengan cara-cara yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Gemuruh besar memaksa nyenyak tidur mereka seketika berubah menjadi fase antara hidup dan mati.

Sejak dini hari, rudal-rudal Rusia telah menghiasi langit di negara penghasil gandum terbesar di Eropa itu, sebelum lantas menghujani kedaulatan mereka. Ratusan ribu warga Kiev berhamburan, memadati jalanan untuk meninggalkan kediamannya yang sewaktu-waktu bisa dihantam ratusan rudal balistik.

Jalanan menuju kota-kota perbatasan Ukraina dan Polandia dipenuhi lautan manusia. Antrean panjang kendaraan mengular untuk keluar dari Kota Keiv, menjauhi episentrum operasi militer sehingga lalu lintas pun lumpuh total. 

Adapun sisanya, hanya bisa berlindung di stasiun-stasiun kereta bawah tanah yang telah dipenuhi dengan orang-orang yang membawa banyak perbekalan. Diselimuti ketakutan, mereka berharap tak ada misil yang melesat ke arah bangunan yang kini telah berubah fungsi serupa bunker.

Selain Kiev, kota-kota lainnya, terutama di bagian timur Ukraina seperti Kharkiv, Kramatorsk, hingga Mariupol pun turut dibombardir Rusia. Rangkaian serangan itu menandai invasi skala besar Kremlin ke teritorial saudara lamanya, Ukraina.

Hingga kini, pasukan militer Rusia telah bergerak nyaris ke seluruh kota strategis Ukraina. Rusia mengklaim telah berhasil melumpuhkan 74 fasilitas militer milik Ukraina. Mereka pun berhasil menguasai fasilitas nuklir Chernobyl (Ukraina utara) yang dahulu menjadi salah satu kawasan bencana nuklir terparah di dunia.

Berdasarkan laporan dari Kementerian Pertahanan Inggris pada Jumat (25/2/22) sore, menyebut, sebagian besar pasukan Negeri Tirai Besi tinggal berjarak 50 km dari Kota Kiev. Pasukan lapis baja Rusia membuka rute baru menuju Kiev setelah gagal merebut Chernihiv.

Konflik antar-negara bekas Uni Soviet yang semula diyakini mampu diredam melalui diplomasi, akhirnya berujung pada kontak senjata terbuka. Sampai di titik itu, perang tidak bisa dihindarkan.

Sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengumumkan dimulainya operasi militer khusus di Ukraina. Ia menyebut bahwa operasi itu dilakukan sebagai respons atas adanya ancaman yang dilakukan negeri tetangganya itu.

Perintah itu dikeluarkan Putin usai dua wilayah separatis Donetsk dan Luhansk (yang lazim disebut Donbas) meminta bantuan dari Moskow untuk menangkis serangan Ukraina. Ia bahkan mengakui dua teritorial di Ukraina timur tersebut sebagai negara merdeka.

Kendati telah menganeksasi Krimea dan mengorganisasi kelompok separatis di kedua wilayah itu, Putin berdalih bahwa Rusia tidak punya niat untuk menduduki Ukraina. Ia mengklaim, tanggung jawab atas pertumpahan darah ada pada rezim negara berjuluk Keranjang Roti Eropa.

Usai perintah operasi militer disetujui, pasukan darat, termasuk ratusan tank, langsung menyerbu teritorial Ukraina. Ribuan tentara Rusia juga dikabarkan merangsek melalui perbatasan timur di Crimea dan Belarusia. Invasi itu adalah agresi militer terbesar di Benua Eropa sejak Perang Dunia II.

Putin pun turut mengultimatum negara-negara lainnya, setiap upaya mengusik manuver Rusia ke negara yang dipimpin Volodymyr Zelensky itu akan mengarah pada "konsekuensi yang belum pernah mereka lihat sebelumnya".

"Setiap upaya untuk campur tangan akan mengarah pada konsekuensi yang belum pernah Anda lihat," ancam Putin.

Banyak ahli militer yang mengartikannya sebagai indikasi Putin guna melancarkan perang nuklir atau ekskalasi perang yang dapat memicu pecahnya Perang Dunia III.

Ongkos Kemanusiaan Konflik

Dalam setiap perang, gajah bertarung lawan gajah, pelanduk akan selalu mati di tengah-tengah. Banyak rakyat sipil di area timur Ukraina yang telah menjadi korban operasi militer, terlepas dari apa pun dalih yang digaungkan Moskow.

Baru setengah hari usia agresi, otoritas Ukraina melaporkan bahwa Rusia telah meluncurkan hingga 203 serangan ke teritorial Ukraina. Banyak di antaranya yang menghantam area permukiman.

Menurut kabar yang diterima Presiden Zelensky hingga Kamis (24/2) malam waktu setempat, setidaknya 137 warga Ukraina, baik personel militer maupun warga sipil, tewas akibat serangan itu. Sementara 316 warga lainnya terluka.

Konflik yang berpotensi menjadi agresi militer terdahsyat di Eropa sejak Perang Dunia II itu diproyesikan oleh intelijen Amerika Serikat akan merenggut hingga 50.000 jiwa. Ongkos kemanusiaan yang terlampau mahal untuk dibayar.

Bahkan sebelum ekskalasi agresi pada Februari 2022 tersebut, konflik Rusia-Ukraina, yang sudah berjalan delapan tahun terakhir, telah memakan korban puluhan ribu nyawa. Perkiraan jumlah korban tewas bervariasi dari sekitar 14.000 menurut PBB dan 16.000 korban menurut Human Rights Watch.

Dalam konflik yang pecah pada 14 April 2014 ini, tercatat total 3.095 warga sipil yang telah kehilangan nyawanya hingga 30 September 2021. Jumlah itu termasuk 1.841 pria, 1.065 wanita, 152 anak-anak, dan 37 orang dewasa yang tak diketahui jenis kelaminnya.

Selain korban jiwa tersebut, tercatat ada 298 korban tewas dalam tragedi jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17 yang ditembak separatis pro-Rusia pada 17 Juli 2014 lalu. Sehingga, angka total korban warga sipil dalam konflik berdarah itu mencapai 3.393 jiwa.

Impak selanjutnya, ada lebih dari 7.000 orang terluka akibat konflik dua negara eks Uni Soviet itu. Tercatat ada lebih dari 1,5 juta warga yang menjadi pengungsi dan ada 3 juta orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Angka-angka itu belum termasuk agresi yang terbaru. 

PBB memperkirakan bahwa sekitar 120 ribu warga Ukraina mengungsi akibat operasi militer selama dua hari terakhir. Jumlah itu masih akan terus bertambah menjadi satu hingga lima juta pengungsi mengingat agresi masih berlangsung. 

Selain menghindari area konflik, ribuan warga Ukraina juga telah melarikan diri dengan melintasi perbatasan Polandia, Rumania, Moldova, serta negara Eropa lainnya yang bisa dijangkau jalur darat.

Dalam konteks pengungsian, perempuan dan anak-anak selalu menjadi pihak yang paling dirugikan dan menanggung beban krisis. Situasi di Ukraina pun tak berbeda. Perempuan dan anak-anak, apalagi yang bepergian seorang sendiri dapat berisiko mengalami eksploitasi dan pelecehan.

Seorang anak duduk di ayunan di depan gedung yang rusak dibombardir Rusia di Kiev. | News.Sky.com
Seorang anak duduk di ayunan di depan gedung yang rusak dibombardir Rusia di Kiev. | News.Sky.com

Potensi kerusakan lebih lanjut juga akan menghantam infrastruktur Ukraina yang semakin melemah. Ada banyak fasilitas publik seperti permukiman, apartemen, rumah sakit dan sekolah, baik di wilayah yang diperintah Ukraina maupun yang telah memisahkan diri, yang mengalami kerusakan parah.

Fasilitas kesehatan publik Ukraina yang terhuyung-huyung akibat Covid-19 juga akan terancam musnah. Krisis makanan dan bahan bakar akan melanda. Layanan publik dipastikan tidak akan berfungsi.

Nahasnya, konflik itu ternyata juga akan berimpak pada pasokan makanan untuk negara-negara seperti Libya, Yaman, dan Lebanon yang kini sedang menghadapi kerawanan pangan. Negara di area Timur Tengah dan Afrika itu sangat bergantung pada gandum dan jagung dari Ukraina.

Presiden Rusia Vladimir Putin di konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz, 15/02/22. | (AP Photo/Sergey Guneev)
Presiden Rusia Vladimir Putin di konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz, 15/02/22. | (AP Photo/Sergey Guneev)

Operasi militer Kremlin ke Ukraina akan menyebabkan penderitaan manusia yang sangat serius. Dunia akan menjadi saksi terenggutnya jiwa-jiwa tak berdosa dan timbulnya krisis kemanusiaan terlampau parah, yang dampaknya juga dirasakan di Benua Eropa, bahkan di seluruh dunia.

Kita semua tentu berharap konflik antar-negara eks imperium Rus Kiev tersebut tidak terekskalasi sampai menimbulkan perang yang lebih besar. Tidak satu pun yang mengharapkan terjadinya Perang Dunia III dan meletusnya perang nuklir.

Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya mengambil seluruh upaya pencegahan guna menekan kerugian terhadap warga sipil serta fasilitas publik. Setiap upaya untuk memprioritaskan perdamaian dan kemanusiaan dalam situasi krisis adalah kewajiban semua pihak yang terlibat.

Pihak Ukraina dilaporkan menginginkan perdamaian serta siap untuk melakukan pembicaraan dengan Moskow, termasuk mengenai status netralnya perihal NATO.

Wahai, Presiden Vladimir Putin, sudah siapkah berdamai dengan saudara lama Anda untuk kepentingan kemanusiaan yang jauh lebih krusial?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun