Gemah ripah loh jinawi. Semboyan yang mendesksripsikan betapa subur bentang alam Nusantara. Konon, tongkat, kayu, hingga batu pun bisa menjadi tanaman.
Berdasarkan narasi itu, lumrah jika ada anggapan, Indonesia lah Atlantis yang pernah dinukil filsuf legendaris Yunani, Plato, dalam karyanya bertajuk Timaeus dan Kritias pada abad keempat SM.
Mungkin, Wadas bisa menjadi salah satu bukti bahwa tanah yang dikandung bumi Indonesia bisa memenuhi seluruh nutrisi untuk setiap tanaman yang dihempaskan di atas punggungnya. Siapa tahu, negeri kita ini lah Atlantis yang hilang itu.
Desa yang terletak di Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, ini diberkahi unsur hara yang sangat melimpah. Pun, terdapat 27 sumber mata air yang dapat ditemukan di sana. Dengan tanah yang subur, hampir seluruh masyarakatnya berprofesi sebagai petani yang banyak bergantung pada kelestarian alam.
Tidak heran jika komoditas perkebunan rakyat di Desa Wadas amatlah beragam, mulai dari durian, kemukus, jati, akasia, kapulaga, mahoni, cengkeh, vanili, aren, dan lain-lain. Nilai komoditasnya dapat mencapai miliaran.
Dalam survei yang dilakukan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPA DEWA) bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, dkk, komoditas yang dibudidayakan di wilayah Desa Wadas bernilai akumulasi tinggi setiap tahun.
Untuk komoditas kebun dapat mencapai Rp8,5 miliar per tahun. Sementara untuk komoditas kayu keras bisa menghasilkan Rp5,1 miliar selama periode yang sama. Oleh karena itu, masyarakat menyebut Desa Wadas bak "tanah surga di bumi".
Warga mengaku, hidup mereka sudah sangat makmur dari hasil alam di tanah kelahirannya. Menjadi petani bagaikan panggilan jiwa bagi mayoritas warga di Desa Wadas. Menurut mereka, individu yang berprofesi sebagai petani adalah orang-orang paling merdeka.
“Mengapa? Semua kerja sendiri, tidak dipengaruhi orang lain. Saya berharap petani Wadas bisa menjadi petani andalan, bisa hidup di atas kaki sendiri,” ucap Muji Mupangat, petani Desa Wadas, seperti dikutip dari Mongabay.