Kondisi itu didukung oleh tren media massa yang sering menyiarkan berbagai acara bergaya gado-gado. Figur publik, artis, dan pejabat negara juga turut menularkan tren keminggris kepada masyarakat melalui kanal layar kaca.
Dalam konteks bahasa, akulturasi bisa terbentuk akibat pencampuran dua ragam bahasa berbeda, menjadi satu model percakapan. Gaya bahasa itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam budaya aslinya tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Lantas, terlahirlah bahasa gaul anak Jaksel yang memadukan ragam bahasa Indonesia, biasanya informal, dengan bahasa Inggris. Keminggris.
Heterogenitas populasi dan pendidikan yang maju, menurut saya, menjadi faktor pendorong lahirnya bahasa gado-gado yang berawal di area Jaksel itu. Dengan banyaknya jenis ras dan pendidikan yang maju, telah membuka peluang masuknya budaya-budaya asing di tengah-tengah masyarakat lokal, termasuk gaya berbahasa.
Proses akulturasi juga bisa terjadi akibat adanya kemajuan zaman dan kebutuhan masing-masing kelompok agar dapat bertahan dan berkembang. Bagi kalangan muda, mengadopsi bahasa asing menjadi sebuah cara agar mereka bisa bertahan dan diterima dalam pergaulan.
Anehnya, jika ditilik dari garis sejarah, seharusnya masyarakat Indonesia lebih dekat dengan bahasa Belanda daripada Inggris. Kependudukan bangsa Belanda di Nusantara selama 346 tahun menjadi alasan utamanya. Namun, masyarakat Indonesia justru lebih rakus menelan bahasa Inggris.
Lain halnya dengan Malaysia dan Singapura yang mempunyai dialek Manglish dan Singlish sebagai produk sampingan akibat penjajahan bangsa Inggris. Akan terkesan janggal saat masyarakat Indonesia memiliki produk dialek serupa. Indoglish, misalnya.
Pakar bahasa Indonesia, Ivan Lanin, menilai gaya bahasa anak Jaksel adalah hal lumrah, terutama untuk anak-anak muda. Pasalnya, gejala keminggris merupakan bagian dari pernyataan identitas. Eksistensinya pun tidak bisa dihindari.
Ada tiga fungsi bahasa secara umum, yakni komunikasi, ekspresi, serta sosial. Bahasa Jaksel telah memenuhi semua unsur itu. Selain sebagai media berkomunikasi, ia juga menjadi alat dalam mengekpresikan diri dan status sosial.
Mereka ingin menunjukkan identitas sosialnya, bahwa mereka memang pantas untuk berada di dalam lingkaran pergaulan yang diikutinya. Ada kecenderungan kaum keminggris menilai bahasa Inggris berada pada level yang jauh lebih tinggi dibandingkan bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah yang mereka anggap berkasta paling rendah.
Asumsi itu ternyata dibenarkan oleh anak Jaksel yang saya hubungi. Bahasa gado-gado dianggap dapat membuat penuturnya menjadi lebih keren, modern, gaul, serta terpelajar. Ada prestise yang ditawarkan di sana.