"Manusia yang paling baik, adalah manusia yang paling bisa memberikan manfaat bagi orang lain."
Di sebuah ruangan dengan nuansa Jawa itu, hanya terdengar deru mesin jahit yang saling bersahutan, menyalak atas instruksi tuannya. Bunyi lengkingan gunting sesekali menyeruak, menghiasi peluh para pejuang kehidupan.
Tatapan mata mereka tertuju pada sebuah ujung jarum, mengawasi setiap gerak-geriknya agar tak meleset dari sasaran. Jari-jemari mereka tampak begitu piawai ketika merangkai batik menjadi satu komposisi indah. Seindah mahakarya mereka yang telah menembus benua Amerika.
Beberapa dari mereka terlihat sedang mengukur serta memotong sehelai kain dengan mimik wajah yang amat serius. Sementara itu, di sisi ruangan lainnya, tampak sesosok pria yang sedang memusatkan atensinya pada cetakan batik dari tembaga.
Sosok pejuang kehidupan itu bernama Asrul. Ia terlahir dengan disablitas pada pita suara dan gendang telinganya. Meski begitu, hal itu sama sekali tak memupus semangat pria 27 tahun tersebut dalam berjuang untuk mengais rezeki. Mencetak batik merupakan keahlian utamanya.
Setali tiga uang dengan Asrul. Perjuangan pria tunadaksa bernama Teguh juga tak kalah kuat. Kendati memiliki kekurangan fisik pada bagian tangan, ia tak sedikit pun mengalami kesulitan tatkala memainkan sehelai kain batik di bawah bidikan mesin jahit.
Sudah ada ratusan produk batik yang ia hasilkan selama bekerja di sana. Bagi Teguh, kekurangan fisiknya itu tak pernah menjadi penghalang dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. "Semangatku ini modal utamaku," ucapnya kala saya wawancarai.
Berasal dari Cilacap, Jawa Tengah, ia mengaku tertantang untuk menimba pengalaman jauh dari tanah kelahirannya. Kenekatan Teguh akhirnya membawa dirinya memijakkan kaki di Kota Pahlawan.
Kendati sempat beberapa kali keluar dari rumah batik tempat ia bekerja sekarang, kerinduannya untuk bertemu sahabatnya tidak bisa dibendung. Teguh memutuskan kembali bekerja di sana usai usaha pribadinya layu akibat hantaman Pandemi Covid-19.
Teguh mengaku lebih nyaman ketika berkumpul bersama temen-teman sesama difabel. Di sana, semua orang sudah seperti keluarganya sendiri. Apalagi, nuansa kekeluargaan itu juga didukung dengan sikap pengurusnya yang selalu mengayomi rekan-rekan penyandang disabilitas.
Akibat keterbatasan fisiknya, ia tak mendapatkan dukungan moral dari keluarganya sendiri. Namun, pria 30 tahun itu tetap menjalani hidupnya dengan begitu tabah. Dari sana kita tahu, nama Teguh memang selaras dengan sikapnya dalam menghadapi kehidupan.
Beruntung, selain memperoleh pekerjaan tetap, ia juga dipertemukan oleh jodohnya. Lusi, 29 tahun, yang juga pegawai senior di rumah batik itu, berhasil ia pinang. Sama seperti Teguh, perempuan asal Sidoarjo itu juga memiliki keterbatasan fisik. Keduanya seolah-olah ditakdirkan untuk saling melengkapi satu sama lain.
Teguh mengaku, hidupnya menjadi lebih bermakna setelah menikahi Lusi. Pernikahan itu memberinya semangat hidup lebih, terutama usai sepeninggal sang ibunda.
Jika bukan karena jasa Ariyono Setiawan, bisa jadi kisah hidup mereka tak akan seberuntung saat ini. Beliau lah tokoh di balik Rumah Batik Wistara yang manjadi gelanggang bagi kaum difabel dalam menantang kerasnya kehidupan.
Di jalan Tambak Medokan Ayu VI C, Kelurahan Medokan Ayu, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya, berdiri sebuah bangunan yang menjadi asrama sekaligus tempat bekerja bagi puluhan anak berkebutuhan khusus (ABK).
Ada 10 ABK yang berhasil dirangkul oleh pria yang akrab dipanggil Aryo itu. Sebelumnya, ada 18 ABK yang sempat bekerja di sana. Akan tetapi, tatkala pagebluk menerjang, beberapa dari mereka harus undur diri dari UMKM dalam bidang batik tersebut.
Berbeda dengan produsen batik lainnya, industri batik rumahan ini memberdayakan para difabel dalam berkarya lebih dari satu dekade lamanya. Rumah Batik Wistara telah didirikan sejak tahun 2010 silam, dengan fokus utama pemberdayaan para penyandang disabilitas.
Motivasi utama Aryo lewat Batik Wistara yang ia rintis, adalah sebagai wadah bagi ABK agar bisa terus berkarya meski memiliki keterbatasan fisik. "Konsep Batik Wistara adalah social enterpreneur," ungkap Aryo.
Selain difabel yang berasal dari wilayah Surabaya, ia juga memberdayakan ABK asal Sidoarjo, Malang, Kediri, Pacitan, Jember, dan Cilacap. Ia mengaku sangat terbuka dalam memberikan wadah untuk para penyandang disabilitas dari seluruh penjuru Indonesia.
Siapa pun yang memiliki kekurangan fisik, tetapi memiliki semangat dan etos kerja, akan diterima dengan baik untuk dibekali dan diperkerjakan di sana. Tidak ada diskriminasi. Mereka dilibatkan secara penuh dalam proses produksi berbagai varian produk batik warisan Nusantara.Â
Lantaran kekhasan batik yang tidak ditemui pada karya rumah batik lainnya, Aryo menamai konsep motifnya sebagai batik abstrak atau batik junjing. Sebuah konsep yang terlahir secara organik dari tangan-tangan kreatif para ABK. Ada kombinasi batik ala Nusantara mulai dari motif Kawung, Sekar Jagad, hingga Semanggi.
Menurut Aryo, hanya perlu satu bulan pelatihan saja bagi ABK agar mereka bisa bekerja mandiri sesuai dengan tugasnya masing-masing. Hanya saja, proses pengerjaan batik memerlukan ketelatenan serta konsistensi tinggi. Faktor itu yang terkadang membuat ABK sedikit kesulitan belajar.
Tak hanya diminati oleh konsumen dalam negeri, produk karya kaum difabel ala Rumah Batik Wistara juga telah diekspor ke mancanegara. Hal itu menjadi bukti bahwa karya para penyandang disabilitas dalam sektor ekonomi kreatif juga bisa diterima dengan baik oleh masyarakat luas.
Kendati begitu, jerat pandemi sempat membuat pondasi Batik Wistara sedikit goyah. Aryo harus memutar otak dalam melakukan adaptasi agar rumah batik sosial yang ia dirikan bisa "selamat".
Masker dari kain perca sisa produksi, menjadi bukti tingginya level adaptasi rumah Batik Wistara dalam menghadapi situasi krisis. Upayanya itu telah berhasil menyelamatkan nasib penyandang disabilitas yang kerap kesulitan dalam mencari pekerjaan, terlebih saat virus corona menyerang.
Batik Wistara telah memproduksi lebih dari 5.000 masker selama pandemi. Beberapa di antaranya telah sampai di tangan saya atas jasa Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) dalam mengantar paket pesanan saya dengan aman dan nyaman.
Hanya dalam waktu sehari saja, masker yang saya pesan dari Batik Wistara Surabaya, telah sampai di rumah saya, Lamongan, tanpa cacat sedikitpun. Padahal, saya sebatas memilih paket reguler (Reg) yang ramah di kantong. Hal itu membuktikan, JNE akan selalu memberikan layanan terbaiknya meski tarif paket yang dipilih sangat ekonomis.
Fakta itu ternyata diamini oleh koordinator Batik Wistara, Bu Marni. Ia adalah tangan kanan Aryo dalam menjalankan usaha. Terkait pengantaran barang, tanpa ragu ia menyebut jasa kurir yang didirikan Soeprapto Suparno pada tahun 1990 silam itu, sebagai layanan ekspedisi andalan Rumah Batik Wistara.
Menurut Bu Marni, dalam mengantarkan produk hingga ke tangan pelanggan, Batik Wistara selalu setia dengan JNE. Bahkan, sejak rumah batik itu pertama kali berdiri pada tahun 2010 lalu.
Kesetiaan Batik Wistara pada JNE sejatinya amat beralasan. "Enggak pernah ribet. Lancar," ucap Bu Marni kala saya menanyakan tentang keunggulan layanan JNE.
Selain pelayanan yang prima, ia juga mengatakan, petugas JNE selalu menawarkan penjemputan barang di rumah konsumen jika paketnya telah melebihi tiga item. Layanan semacam itu tentu dapat memudahkan pelaku UMKM agar paket pesanan bisa segera diterima oleh pelanggan.
Jika barang pesanan pelanggan tiba lebih cepat dari ketentuan, para pelaku UMKM akan merasa tenang kala menjalankan usahanya. Pelanggan pun merasa bahagia karena barang pesanannya bisa tiba lebih cepat dan tanpa cacat. Setidaknya, hal itu lah yang telah saya buktikan sendiri.
JNE Menghubungkan Kebaikan
Atas saran dari seorang sahabat, saya mendonasikan masker karya para difabel di Batik Wistara pada Ponpes Roudhotun Nasyi'in Ash Shiddiqiyyah (RN ASA) yang berlokasi di Desa Dadapan, Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang, Jawa tengah.
Saya mendapatkan informasi mengenai Ponpes RN ASA dari Suster Monica SND, seorang biarawati Katolik yang sebelumnya pernah bekerja sama dengan yayasan yang dipimpin Bapak Abadi itu.
Saya menyadari, apa yang dilakukan Aryo sejalan dengan visi yang diperjuangkan oleh Bapak Abadi. Motivasi keduanya memang sama-sama ingin memuliakan kaum difabel dan anak-anak kurang beruntung lainnya.
Selain sebagai Ketua Yayasan, Bapak Abadi juga menjadi "ayah" bagi 232 santri yang diisi oleh anak-anak penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dari antero negeri. Bahkan, beberapa di antaranya adalah anak berkebutuhan khusus.
Berdiri sejak tahun 2004 silam, Yayasan RN ASA merupakan sekolah inklusif yang memadukan konsep pondok pesantren dangan rumah sosial. Pondok pesantren asuhan Pak Abadi itu kini dihuni santri yang berasal dari seluruh penjuru Tanah Air. Ada yang dari Sorong, Wamena, Makassar, Bengkulu, Batam, hingga sejumlah kota di area Kalimantan Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Menurut penuturan Bapak Abadi ketika saya konfirmasi, Ponpes RN ASA didirikan murni atas inisiatifnya sendiri, dengan dukungan dana yang juga berasal dari kantong pribadi. Ia mengaku, inspirasi pendirian sekolah sekaligus rumah sosial bagi anak-anak tak beruntung itu adalah panggilan jiwa.
Ia tak menarik satu peser pun uang atas upayanya dalam menyelamatkan masa depan para generasi penerus bangsa. "Manusia yang paling baik, adalah manusia yang paling bisa memberikan manfaat bagi orang lain," terang pria berusia 42 tahun itu.
Guna sedikit meringankan upaya beliau untuk mengajarkan pentingnya penerapan protokol kesehatan di Ponpes RN ASA, lewat jasa JNE, saya mengirimkan masker batik Wistara pada tanggal 31 Desember 2021.
Tak dinyana, pada tanggal 2 Januari 2022, paket masker saya telah diterima oleh Bapak Abadi. Lebih cepat dari estimasi awal, yakni enam hari. Hal itu cukup mengejutkan, mengingat akhir tahun merupakan momen puncak jumlah pengiriman JNE. Namun, hal itu tak semerta-merta membuat para petugas JNE mengendurkan semangatnya untuk mengantarkan paket sesegera mungkin.
Kecepatan dan keandalan layanan yang konsisten dan bertanggung jawab, membuat kredibilitas JNE semakin tinggi di mata pelanggan serta mitra kerja. Sisi keunggulan itu selaras dengan prinsip "Berbagi, Memberi, dan Menyantuni" yang selama ini diyakini dan dijalankan oleh JNE.
Pada setiap ketidakberuntungan, akan selalu ada ruang untuk saling mengisi dan melengkapi. Ada kewajiban pada setiap hak yang telah kita terima. Mari berbagi, memberi, dan menyantuni sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H