Selain itu, sentimen SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) juga berpotensi membuat konflik antar ormas menjelma menjadi konflik dengan skala besar. Hal itu diperkuat dengan faktor individu yang cenderung memiliki sifat 'sumbu pendek' atau mudah terpancing amarahnya. Hal-hal kecil lebih cepat meledak kalau kubu lawan berasal dari SARA yang berbeda.
Lemahnya aparat keamanan dalam hal pencegahan dini potensi konflik, juga membuat bentrokan kian subur. Tidak tegasnya tindakan hukum yang diambil aparat seolah-olah memberi legitimasi bagi ormas paramiliter untuk semena-mena dalam melakukan kegiatannya.
Memang, tidak ada satu pun entitas dan kekuasaan di Indonesia yang mampu mencegah masyarakat untuk berkumpul serta berserikat. Amanat itu tertulis di dalam UUD 1945 dan UU tentang HAM.
Beleid itu yang lantas menjadi legitimasi serta pijakan bagi masyarakat luas guna mendirikan berbagai macam organisasi massa, yang beberapa di antaranya acap kali terlibat konflik horizontal yang tak berkesudahan.
Selama mereka belum mampu menahan hasratnya untuk bertikai dan penindakan oleh aparat keamanan tidak tegas, maka konflik dan kekerasan fisik antar ormas palamiliter akan terus menghiasi laman berita dan layar kaca kita di rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H