"Perbaiki mindset-nya, maka bertambah istrinya." – Coach Hafidin aka mentor poligami
Apa yang Anda rasakan setelah membaca kutipan insan yang mendaku diri sebagai mentor poligami tersebut? Merasa begitu tergugah ingin berpoligami? Atau, malah bingung dengan maksud dari beliau?
Jika jamaah Kompasiana bertanya kepada saya pribadi, jangankan merasa tergugah untuk berpoligami, satu istri pun saya tak punya. Maksudnya, saya bingung dengan gagasan yang ingin disampaikan beliau.
Alih-alih berniat bermadu dua, tiga, dan seterusnya, saya justru berpikiran bahwa beliau sedang mengajak bercanda. Beliau paham betul kalau masyarakat Indonesia akhir-akhir ini tengah mengalami defisit asupan humor yang estetik nan otentik.
Bagaimana tidak, Coach Hafidin berharap kita mengubah pola pikir hanya agar bisa menambah pasangan hidup. Entah kata-kata mutiara itu hanya sebatas ditujukan kepada pihak yang mau berpoligami atau untuk semua laki-laki di luar sana. Hanya Coach Hafidin dan Tuhan saja yang tahu.
Ada sederet kata-kata beraroma surga di medsosnya yang menegaskan, terutama bagi kaum Adam, bahwa poligami dapat memberi banyak kebahagiaan dunia dan akhirat dalam rumah tangga versi Coach Hafidin. Beliau cenderung mengabaikan imbas poligami dari sudut pandang istri (kaum perempuan) dan anak-anak.
Kalau diamati dari semua unggahannya, agaknya beliau adalah seorang penganut prinsip patriarki berlevel ekstrem, yang amat gemar melandaskan idenya hanya di atas prinsip dan syariat yang ia yakini. Ia pun cenderung abai terhadap dampak sosial serta ekonomi yang dapat muncul akibat gagasan yang dikampanyekannya.
Sebelum membaca untaian kutipan bijak beliau, saya sarankan agar membacanya dalam kondisi mental yang sangat stabil. Alasannya simpel saja, supaya Anda bisa berpikir cukup jernih dan tidak emosi.
Agaknya, beliau tidak sungkan-sungkan membalut seluruh program gubahannya dengan dalih serta narasi agama. Semua gagasannya mengacu pada satu hal yang identik, yakni kampanye poligami.
Untuk Anda yang masih bimbang, apakah pembimbing/mentor poligami ini profesi sungguhan. Saya tegaskan jika profesi itu memang benar-benar ada. Coach Hafidin itulah salah satu buktinya.
Selain Hafidin, nyatanya, masih banyak lagi yang mendaku diri sebagai seorang "poligami expert". Selebaran kelas dan webinar tentang poligami milik mereka banyak bertebaran di linimasa medsos.
Selebaran promosi milik Coach Hafidin, misalnya, yang berupa kiat-kiat sukses berpoligami yang akan dididik langsung oleh dirinya, baik secara daring maupun luring. Bahkan, dia juga berani memberi garansi sukses berpoligami hanya dalam tempo 45 hari. Saya tak tahu, andai kata gagal, apa uang Anda akan kembali. Apa perlu saya coba dahulu agar kita paham?
Webinar poligami yang diisi oleh Coach Hafidin, memungut dana sebesar Rp199 ribu. Dapat lebih mahal apabila seminar dilakukan secara luring atau tatap muka. Mungkin bisa menyentuh angka hingga puluhan juta. Nantinya peserta seminar bakal mendapatkan materi-meteri agar pihak istri pertama bersedia menerima status poligami sang suami.
Beliau juga akan membagikan wejangan supaya istri dapat bahagia dengan suami yang berpoligami serta sikap dan mental yang wajib dimiliki oleh pria, yang ingin menjalankan praktik permaduan.
Seminarnya boleh untuk diikuti berbagai kalangan, termasuk mereka yang belum menikah dan pasangan monogami yang berniat menciptakan keluarga harmonis. Sayangnya, dia tidak menyediakan calon pasangan bagi para pesertanya. Hal yang kurang menyenangkan bagi kaum jomlo.
Beliau sendiri mengklaim, telah berhasil menjalankan rumah tangga poligaminya selama 20 tahun. Bahkan, beliau saat ini sudah mempunyai 25 anak dari keempat istrinya. Sebuah catatan rekor yang tidak main-main, bukan?
Artinya, dia tidak hanya sebatas sebagai juru kampanye saja, tetapi juga seorang praktisi. Tidak heran kalau banyak yang berminat untuk mengikuti kelasnya. Ya, setidaknya itu klaim dari Coach Hafidin.
Dalam hukum Islam, seorang laki-laki memang diperbolehkan guna memiliki empat istri dengan syarat "harus adil". Sementara, konsep adil itu sendiri bisa dimaknai beragam--bergantung sudut pandang mereka yang menyoalkannya.
Yang jelas, berlaku adil itu sulit. Apalagi, dalam keluarga yang menganut prinsip poligami. Adil dalam kacamata si suami, belum tentu adil bagi pihak istri. Begitu pula sebaliknya. Sangat dilematis.
Ada banyak konsekuensi logis yang akan dipertaruhkan dalam praktik permaduan tersebut. Tidak hanya menyangkut nasib sang istri saja sebagai perempuan, anak-anaknya pun dapat terjebak dalam posisi yang rentan dan mengkhawatirkan.
Ironisnya, dampak poligami juga dapat merembet ke permasalahan yang lebih basar apabila terlalu banyak orang yang menjalankannya. Pemerintah bisa panik tatkala angka kealahiran yang tiba-tiba meledak, tetapi tidak didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Para petugas di pengadilan agama juga akan jauh lebih sibuk dari sebelumnya akibat angka kasus perceraian meningkat.
Bibit Kekerasan
Selama ini, ide poligami masih menjadi polemik yang telah memicu perdebatan panjang di Tanah air, khususnya datang dari kalangan perempuan. Sebab, dalam rumah tangga poligami, kaum Hawa lah yang paling dirugikan.
Dalam gagasan feminisme, permaduan merupakan salah satu varian kekerasan terhadap perempuan, lantaran poligami dapat membuat salah satu istri merasa tidak nyaman serta dalam posisi rentan. Bahkan, akan memicu kekerasan psikis dan fisik jika ada konflik di antara para istri dan suami. Relasi yang melibatkan banyak orang memang cenderung amat berisiko memicu konflik dan kekerasan.
Dampak negatif atas poligami didukung data riset dari Komnas Perempuan yang memaparkan bahwa kekerasan seksual, fisik, psikis, dan penelantaran ekonomi kerap terjadi dalam hubungan poligami yang ada di Indonesia.
Fakta itu sejalan dengan penelitian yang dilakukan University of British Columbia pada 2012 lalu, yang menemukan bahwa poligami menutup ruang egaliter untuk perempuan dalam sebuah rumah tangga.
Umumnya, ide poligami akan dibungkus dengan janji-janji surga bagi perempuan yang mengizinkan pihak suami menikah lagi. Dalih kepatuhan kepada suami yang tidak pandang bulu pun sering dijadikan senjata guna "melumpuhkan" sang istri.
Dalam posisi sulit itu, kaum Hawa tidak berdaya menolak keinginan sang suami. Bagi para aktivis perempuan, istri yang terpaksa memberi ijin kepada suaminya untuk menikah lagi, itu sudah termasuk varian kekerasan terhadap perempuan.
Terlebih lagi, jika pernikahan istri kedua itu dilakukan di bawah tangan, nasibnya akan lebih mengenaskan. Asumsi bahwa poligami berisiko memantik kehancuran rumah tangga, agaknya sulit dibantah.
Prinsip awal poligami sebenarnya untuk membatasi. Bukan menambah. Pasalnya, pada awal-awal kelahiran Islam, orang-orang kala itu banyak yang memiliki istri hingga puluhan. Hanya sedikit saja yang mampu berpoligami dan melakukannya "murni" untuk maksud kebaikan. Bukan hanya sekadar memenuhi syahwat saja.
Melalui pesan instan, saya memutuskan untuk bertanya kepada sosok ibu rumah tangga yang sudah saya anggap kerabat. Apa dia bersedia dimadu oleh suaminya. Jawabannya, ia sama sekali tidak setuju dengan seluruh ide mengenai poligami. Bisa jadi pendapatnya itu juga mewakili jeritan hati kaum Hawa keseluruhan.
Selain berimbas pada para istri, poligami juga bisa berdampak pada masa depan si anak, mengingat praktik itu sama sekali tak melibatkan persetujuan dari mereka.
Mengutip studi yang ditulis oleh Natalie Exposito dari Universitas Seton Hall, AS, anak yang lahir dalam keluarga poligami dapat merasakan absennya sosok bapak. Kondisi itu juga akan berimbas pada sisi psikologis si anak, yang akan cenderung mengisolasi diri dari lingkungan sosial. Impaknya akan makin kompleks apabila poligami memicu konflik pada orangtua.
Poligami Bukan untuk Semua Orang
Prinsip Islam terkait pernikahan, adalah tentang kemaslahatan. Konsep itu harus bisa menyentuh kedua belah pihak, baik dari sisi suami maupun istri. Tidak boleh cenderung berat sebelah alias harus adil.
Masalahnya, tidak semua laki-laki bisa berlaku adil serta memiliki kemampuan mental serta ekonomi yang cukup stabil untuk mendukung keluarga poligami.
Kalau berkaca pada rumah tangga Coach Hafidin, ia mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah pada keempat istrinya. Pun wajib bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan anak-anaknya yang berjumlah 25 itu. Ingat, dua puluh lima!
Jika Anda berniat coba-coba melakukan poligami, mulai saat ini silakan dihitung berapa juta ongkos untuk skin-care yang dibutuhkan istri-istri Anda? Berapa kilo beras yang diperlukan untuk memenuhi perut mereka? Berapa juta anggaran SPP anak-anak Anda setiap bulannya kelak?
Poligami tidak hanya tentang menjalani hubungan dengan beberapa pihak. Ada hajat hidup serta nasib banyak manusia yang perlu dipikirkan secara matang.
Pada kondisi ekonomi yang belum stabil akibat pandemi, ide poligami tidak bijak untuk dikampanyekan secara luas. Kalau memang sejak awal Anda punya niat dan merasa cukup mampu, lakukan sendiri. Jangan ajak orang lain. Berbeda dengan syariat lain, poligami bukanlah ide yang pantas untuk didakwahkan secara luas, apalagi kalau sampai dikomersialkan.
Bagaimana dengan pendapat kalangan bapak-bapak? Apakah Anda juga ingin berpoligami usai membaca artikel ini? Sebaiknya jangan, ya, Pak. Ingat anak serta istri Bapak yang setia menunggu kehadiran Bapak di rumah setiap hari.
Oh, iya. Bapak juga harus memikirkan nasib kaum singgel. Kasihan para pria jomlo yang belum memiliki pasangan. Sementara Anda sendiri sudah beristri dua, tiga, bahkan empat. Di mana hati nurani Anda, Pak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H