Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menaikkan Gaji Bukan Solusi Berantas Korupsi

15 November 2021   13:26 Diperbarui: 15 November 2021   17:29 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini gaji serta tunjangan para pejabat di Tanah Air telah mengalami kenaikan beberapa kali. Apa hal itu dapat semerta-merta memutus rantai korupsi dalam lingkup pejabat negara?

Diiringi rintik hujan yang sangat syahdu, kopi saya mendadak jauh lebih pahit dari sebelum-sebelumnya, kendati saya telah memastikan jika takaran antara gula dan kopinya memang benar-benar sudah pas. Tidak kurang. Tidak lebih.

Saya termasuk pecandu kopi, dua hingga tiga cangkir sehari. Entah mengapa saya malah tidak begitu menyukai sajian kopi yang terlalu pahit. Apakah lantaran taraf hidup saya, sebagai warga +62, memang sudah kelewat getir?

Usai saya amati secara seksama. Dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ternyata, berita yang saya baca lah yang menjadi biang keladinya. Lewat sejumlah reaksi kimia yang entah bagaimana, kabar itu berhasil mengubah kegetiran kopi saya ke level yang sungguh menggelikan.

Saya tak peduli saat banyak orang yang bilang jika gula tak baik bagi kesehatan. Sementara perilaku dan kebijakan yang diambil orang-orang ini sesungguhnya jauh lebih merusak tatanan.

"Rasakan!" ujar saya dalam hati sembari melemparkan satu sendok penuh gula ke habitatnya yang basah.

Dalam kepulan uap kopi, otak saya belum bisa mencerna berita yang baru saja saya tuntaskan. Bapak Ketua KPK, Firli Bahuri, mengusulkan agar gaji pimpinan daerah ditingkatkan. Begitu bunyinya.

Kendati bukan baju cucian, saya sempat mengucek mata saya tiga sampai empat kali untuk sekadar memastikan saya tak melewatkan satu patah kalimat pun. Ah, memang sudah betul rupanya.

Wacana itu, kata Pak Firli, menjadi salah satu cara agar kepala daerah tidak punya niat korupsi. Hal itu dikatakannya dalam rapat koordinasi pemberantasan korupsi bersama Kepala Daerah dan Ketua DPRD se-Jateng di Semarang, Kamis (11/11/21).

Bukan pertama kalinya KPK atau pihak-pihak terkait lain mendesak supaya gaji para pejabat dinaikkan sebagai langkah mencegah korupsi. Mantan Kapolri Tito Karnavian serta Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengusulkan hal serupa pada 2019. Sejumlah pejabat lain pun pernah memberikan usulan yang sama persis.

Apakah menaikkan gaji pejabat efektif menekan kasus korupsi di Indonesia?

Riset Korelasi Gaji dan Korupsi
Menaikkan gaji serta tunjangan pejabat, menjadi sebuah solusi praktis yang tidak hanya mengeruk anggaran negara milik rakyat, tetapi juga bisa menguntungkan para pejabat. Asumsi itu lah yang hingga detik ini masih logis dan relevan.

Adapun premis yang mengklaim eratnya korelasi antara korupsi dan naiknya gaji, pertama kali muncul dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Becker serta Stigler pada tahun 1974. Mereka menyimpulkan bahwa negara yang memberi gaji tinggi kepada para pejabatnya, memiliki angka kasus korupsi yang lebih rendah.

Namun, studi itu memicu banyak kritik karena datanya dianggap kurang akurat (bias). Salah satunya melalui studi yang dilakukan oleh Jakob de Haan dkk, pada 2013 lalu, dengan data yang lebih akurat tentunya. Mereka menyimpulkan bahwa pengaruh kenaikan gaji pada penurunan kasus korupsi hanya 0,35 (dalam skala 0 hingga 6). Nyaris tidak berpengaruh!

Penelitian tersebut diperkuat oleh hasil eksperimen yang dianggit para peneliti dari AS, Kweku Opoku-Agyemang dkk, yang dilakukan di Ghana.

Eksperiman itu dilakukan di jalan raya di Ghana yang melibatkan polisi serta para pengemudi truk yang akan menyuapnya. Apa hasilnya? Para polisi justru menarik lebih banyak uang (pungli) kepada supir truk itu secara signifikan kendati gajinya sudah dinaikkan. Upah yang lebih tinggi malah merangsang hasrat aparat untuk melakukan tindak KKN yang lebih besar.

Gaji Tinggi Pejabat Bukan Solusi
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, ada 127 kepala daerah yang menjadi napi korupsi dalam periode tahun 2004–2021. Padahal, pejabat yang terjerat korupsi itu digaji dengan nominal yang amat tinggi. Untuk besaran gajinya bisa dilihat di sini.

Sementara jika berkaca pada kasus yang baru-baru ini terjadi, angka gaji pejabat memang tidak menyurutkan niat mereka terlibat KKN. Salah satunya bisa diamati dari kasus suap yang melibatkan mantan pejabat Ditjen Pajak, Angin Prayitno Aji dan Dadan Ramdani yang telah didakwa menerima suap sebesar Rp57 miliar.

Padahal, faktanya Ditjen Pajak sejauh ini termasuk instansi negara yang memberi tunjangan tertinggi di Nusantara. Angka tunjangan tinggi itu bertujuan agar para pegawainya tidak tergoda oleh suap atau praktik KKN lain. Namun, sangat mudah ditebak, realitas yang terjadi di lapangan justru kerap berbicara sebaliknya.

Besaran gaji dan tunjangan milik Angin menurut laporan dari Kompas, sebesar Rp85 juta, itu tidak termasuk tunjangan lain-lain. Adapun Dadan, tunjangannya diketahui Rp46,4 juta, belum termasuk gaji dll. Masih kurang tinggi?

Apa perlu mereka menuliskan nominal gajinya sendiri, sesuai yang diinginkan, supaya mereka tidak tergiur korupsi?

Sudah amat gamblang bahwa sejatinya kenaikan gaji pejabat tidak serta merta menekan hasrat mereka untuk menilap duit rakyat. Selama para pejabat masih menyimpan sifat tamak, serakah, atau rakus, upah setinggi apapun tidak akan pernah membuat mereka merasa puas. Apalagi, selama ini justru mereka yang punya pendapatan tinggi lah yang acap kali terjerat praktik culas tersebut.

Dalih gaji kecil hanyalah sebagai intrik pembenaran perilaku korup. Pasalnya, mereka sudah tahu sejak awal jika gaji pejabat negara memang tidak setinggi penghasilan pengusaha. Kalau hitung-hitungannya memang tidak bisa balik modal, ya, jangan mencalonkan diri.

Gaji Tinggi APBN Tergadai
Kalau pemerintah tetap memaksa untuk mendongkrak gaji mereka, negara harus mengalokasikan ongkos yang jauh lebih banyak dalam menekan kasus korupsi di Tanah Air. Hal itu dibuktikan lewat hasil studi yang dianggit oleh Weihua An dan Yesola Kweon pada tahun 2013 lalu.

Mereka menemukan, peningkatan upah pejabat memang bisa sedikit membantu mengurangi angka korupsi. Namun, jika hanya sekadar mengandalkan kenaikan gaji saja, biayanya sangatlah mahal.

Sebagai contoh, untuk menekan angka korupsi di sejumlah negara non-OECD (negara paling korup), gaji pejabatnya harus ditingkatkan tujuh kali lipat. Ya, betul, tujuh kali lipat dari gaji semula!

Pada kasus Angin dan Dadan, misalnya, mereka harus diguyur gaji senilai Rp595 juta dan Rp324.8 juta tiap bulannya agar tidak tergoda praktik korupsi. Nominal yang sangat tinggi hanya untuk sebatas menggaji dua pajabat saja.

Kalau wacana itu dipilih oleh pemerintah, maka akan berpengaruh terhadap kondisi keuangan nasional (APBN). Penambahan upah pejabat akan berdampak pada biaya pemerintahan yang tinggi. Mau tak mau, defisit itu pada akhirnya perlu diimbangi oleh pendapatan negara dari penerimaan pajak dan bea cukai yang tinggi pula alias harus dinaikkan.

Siapa yang akhirnya akan merugi? Lagi-lagi masyarakat, khususnya rakyat kecil. Sebab, naiknya pajak juga akan memicu naiknya harga berbagai kebutuhan.

Oleh sebab itu, menurut saya, sebaiknya pemerintah mengabaikan wacana untuk menaikkan upah pejabat dalam berbagai tingkat. Apalagi, dalam kondisi ekonomi warga yang masih belum stabil lantaran dampak pandemi Covid-19.

Ada banyak orang yang saat ini sedang butuh bantuan. Sehingga, kenaikan gaji pejabat malah akan sangat melukai hati dan perut masyarakat kalangan bawah.

Perberat Hukuman Koruptor
Ide kenaikan gaji ini bukan merupakan solusi yang tepat guna menekan tipikor di kalangan pejabat publik. Gagasan itu sudah terbukti gagal guna memberikan efek jera kepada para pelakunya.

Setiap kenaikan gaji idealnya juga perlu diiringi dengan konsekuensi berat serta tidak pandang bulu. Perberat hukuman koruptor, kemudian miskinkan. Jangan berikan remisi untuk penghianat rakyat. Kalau perlu jatuhi dengan vonis seumur hidup, atau bahkan vonis mati, agar ada efek jera.

Pola Pikir Pejabat Harus Diubah
Masih banyak pajabat di Indonesia yang beranggapan jika jabatan publik menjadi salah satu cara untuk memperoleh akses ke lahan basah (baca: memperkaya diri).

Sangat jarang dijumpai angka kekayaan pejabat yang turun saat masih berkuasa. Pihak yang diharapkan menjadi pelayan publik justru banyak menyalahgunakan jabatan demi tujuan pribadinya.

Mereka harus mengubah pemikiran itu. Jebatan bukan cara untuk memperkaya diri sendiri. Memimpin ialah menderita. Jangan menjadi pejabat kalau mau kaya. Jadilah pengusaha agar bisa balik modal.

Selama ini para pebajat dalam berbagai tingkat telah menikmati terlalu banyak keistimewaan, termasuk kenaikan gaji. Lantas, kalau sudah dinaikkan, adakah jaminan korupsi akan bisa betul-betul musnah atau setidaknya dapat ditekan seminimal mungkin?

Apabila berkaca pada kasus tipikor yang sudah-sudah, agaknya tujuan itu masih sebatas angan-angan saja. Gajinya, sih, tetap naik. Korupsinya, ya, jalan terus!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun