Apakah Anda juga merasakan suhu udara bertambah panas dari hari ke hari? Belum juga keluar rumah, tetapi keringat sudah mengalir deras. Kulit pun jadi lebih cepat gosong lantaran terpapar sinar matahari.
Beberapa tahun yang silam mungkin kita masih sanggup bersantai di dalam rumah meski tanpa AC atau kipas angin. Namun, hari-hari ini suhu udara tinggi memaksa kita untuk terus mengaktifkan pendingin ruangan hampir sepanjang waktu.
Fenomena tersebut tidak lain dipicu oleh peningkatan emisi gas rumah kaca, yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global atau global warming di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Sampai di sini, apakah Anda masih terus meragukan terjadinya pemanasan global? Jika masih, maka sila lanjutkan membaca sampai kalimat terakhir dalam artikel ini.
Faktanya, menurut riset yang diterbitkan dalam "Journal of Geophysical Research: Atmospheres", para peneliti menemukan bahwa Indonesia akan ditimpa lebih dari tiga kali kondisi gelombang panas sangat ekstrem antara tahun 2020 dan 2052.
Sementara itu, antara tahun 2068 serta 2100, gelombang panas ekstrem serupa akan menerjang setiap dua tahun sekali. Ya, Anda tak salah membaca, setiap dua tahun sekali! Tak terbayangkan, betapa berat masa depan anak cucu kita kelak.
Risiko dampak perubahan iklim (climate change) yang tidak terkendali lain adalah meningkatnya kebakaran hutan ekstrem di sejumlah wilayah di Kalimantan serta Sumatera. Demikian hasil dari penelitian yang dilakukan oleh sejumlah peneliti di organisasi nirlaba dalam bidang transisi energi, Yayasan Indonesia Cerah.
Sejalan dengan potensi kebakaran hutan, potensi kekeringan pun turut meningkat sangat drastis. Musim kemarau semakin panjang. Pun, semakin kering. Nahasnya, fenomena alam itu tidak hanya terjadi di dua wilayah itu, tetapi juga dapat terjadi di berbagai wilayah Jawa.
Selain kebakaran hutan dan kekeringan, bencana hidrometeorologi lainnya yang berpotensi meningkat tajam ialah banjir. Sejumlah area yang berisiko mengalami banjir ekstrem adalah Sumatera, Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Yang tak kalah mengerikannya. Dampak dari pemanasan global berikutnya yakni naiknya permukaan air laut, yang mana selanjutnya akan meningkatkan potensi terjadinya banjir pesisir (rob) sebesar 19 hingga 37 persen.
Bencana alam itu sejatinya sudah mulai dirasakan di sejumlah wilayah di Tanah Air. Jakarta, misalnya, sudah diprediksi akan tenggelam pada tahun 2050, yang mana salah satu pemicunya merupakan pemanasan global. Sejumlah wilayah di pesisir lain serta pulau-pulau kecil juga akan mengalami nasib tragis serupa.
Apakah hanya berhenti sampai di sana? Tentu saja tidak. Akan muncul berbagai varian efek domino yang mengikutinya. Berbagai macam bencana alam itu akan berimbas secara langsung pada seluruh aspek yang menunjang kehidupan kita.
Perubahan iklim dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan ras manusia taruhlah ekonomi, kesehatan, turunnya kualitas dan kuantitas air, menurunnya produksi bahan pangan, punahnya flora dan fauna, dan banyak hal esensial lain.
Lebih ironisnya lagi, bencana iklim tak mengenal batas negara. Kendati hanya menyumbang 10 persen produksi emisi, negara-negara berkembang di selatan bumi akan terpukul dampak yang lebih parah dibanding 10 persen negara yang menyumbang 70 persen emisi global.
Lahirnya ketimpangan bencana iklim itu dituliskan oleh Profesor linguistik Noam Chomsky dan ahli ekonomi Robert Pollin dalam karyanya yang berjudul "Climate Change and the Global Green New Deal".
Beberapa riset lainnya juga menegaskan bahwa penduduk di negara miskin tidak memiliki perlindungan yang cukup baik dari ancaman bencana iklim ketimbang mereka yang tinggal di negara maju dan negara berkembang.
Meski Indonesia telah termasuk sebagai negera berkembang, pemanasan global masih menjadi petaka yang mengerikan jika tidak segera ditangani secara serius, terukur, dan konsisten.
Hal itu makin diperburuk dengan fakta bahwa Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia pada tahun 2015. Menurut data yang dilaporkan di laman Carbon Brief, emisi gas rumah kaca tahunan di Tanah Air sebanyak 2,4 miliar ton setara CO2.
Oleh karena itu, Indonesia menargetkan guna mewujudkan Emisi Nol Bersih atau Net-Zero Emissions (NZE), paling lambat tahun 2060 untuk mengurangi berbagai risiko dari terjadinya pemanasan global. Tentu tak satu pun yang menginginkan skenario kiamat kecil itu terjadi, bukan?
Selain bisa membuat bumi menjadi lebih hijau dan ramah untuk keberlangsungan kehidupan umat manusia, NZE juga bisa memberikan keuntungan ekonomi yang jauh lebih tinggi. Guna mewujudkannya, harus ada komitmen, perencanaan yang matang, dan adanya kolaborasi berbagai pihak—termasuk dukungan kita semua.
Sejatinya semua orang punya kewajiban yang sama untuk menjaga bumi supaya tetap aman dan nyaman guna ditinggali. Beberapa hal berikut adalah upaya kecil saya, yang mungkin bisa Anda terapkan juga dalam setiap aktivitas sehari-hari untuk mewujudkan Net-Zero Emissions.
1. Berjalan Kaki dan Gowes
Di Tanah Air, salah satu penghasil emisi karbon terbesar berasal dari transportasi, yang mana bisa menghasilkan sebanyak 21 persen dari total emisi secara nasional.
Lantas, apa yang dapat dilakukan untuk menekannya? Jawabannya ialah dengan berjalan kaki. Misalnya, jika Anda ingin bepergian ke tempat yang relatif dekat, usahakan untuk berjalan kaki saja. Jika dirasa agak berat, bisa gowes alias naik sepeda manual.
Selain baik bagi kesehatan, upaya kecil itu juga dapat mendukung tercapainya Emisi Nol Bersih. Sebab, tidak akan ada emisi yang diproduksi oleh kendaraan bermotor kita. Kebiasaan itu lah yang secara konsisten saya terapkan setiap waktu. Mau gowes bareng saya? Boleh!
2. Gunakan Transportasi Umum
Apabila berjalan kaki dan gowes sangat tidak memungkinkan karena jarak yang terlalu jauh, Anda dapat menggunakan jasa transportasi umum yang juga telah menjadi andalan saya kala bepergian.
Perlu diketahui bahwa emisi per kapita Indonesia tahun 2015, menurut Carbon Brief, mencapai 9,2 ton CO2e. Angka itu masih lebih besar dari rata-rata global (7,0 ton CO2e) serta rata-rata di China (9,0 ton CO2e), Inggris (7,7 ton CO2e), maupun Uni Eropa (8,1 ton CO2e).
Betapa besar emisi yang bisa ditekan jika setiap individu memiliki kesadaran yang sama untuk mengutamakan transportasi umum saat bepergian. Dengan demikian, Anda sudah turut serta dalam mencegah berbagai bencana alam di seluruh dunia.
3. Menanam Banyak Tanaman
Net-Zero Emissions ialah tercapaiannya keseimbangan antara emisi gas rumah kaca yang telah dihasilkan dengan yang ditekan lewat berbagai upaya. Menurut ilmuwan, untuk menyelamatkan dunia dari perubahan iklim, Emisi Nol Bersih saja tidak cukup. Perlu dilakukan upaya yang disebut dengan Emisi Negatif.
Untuk mewujudkan tujuan itu, kita perlu menggunakan metode yang paling alami, yaitu dengan menanam pohon atau jenis flora lain, seperti tanaman hias. Terkesan sangat remeh memang. Namun, jika kita melakukannya bersama-sama, mencapai Emisi Nol Bersih bukan perkara mustahil.
Ayah saya telah mewariskan gen pecinta tanaman hias pada saya. Nyaris di setiap sudut halaman rumah dipenuhi berbagai tanaman hias. Begitu pula di pekarangan belakang yang telah ditumbuhi beberapa jenis pohon berbuah.
Dengan menanam pohon atau tanaman lain, dapat membantu dalam menyerap karbon dioksida (CO2) lewat fotosintesis yang mana CO2 menjadi pembentuk gas rumah kaca paling besar yang dihasilkan manusia. Menurut ilmuwan, pelestarian dan perluasan penyerapan alami seperti hutan-hutan buatan amat krusial untuk mengurangi emisi. Pun, bisa menambah pasokan oksigen untuk makhluk hidup.
Selain rumah bisa terlihat jauh lebih asri, hijau, serta segar, Anda juga sudah turut serta dalam melestarikan 'persahabatan' antara bumi dengan manusia. Sehingga, bisa tercipta simbiosis mutualisme yang berkelanjutan di antara keduanya.
4. Hemat Listrik
Sejatinya pemakaian sumber energi yang terbarukan taruhlah instalasi panel surya guna mengaliri listrik rumahan, menjadi alternatif terbaik untuk mendukung ZNE. Namun, karena harga panel surya masih sangat mahal, kita bisa melakukan upaya alternatif seperti penghematan listrik.
Sekitar 58 persen listrik Indonesia lewat PLTU berasal dari batu bara (pada tahun 2017). Padahal, pengelolahan batu baru berdampak amat buruk bagi lingkungan. Terlebih lagi, PLTU adalah penyumbang emisi terbesar dari sektor energi.
Oleh sebab itu, penting bagi kita semua untuk menghemat listrik mulai saat ini juga. Saya memakai alat-alat elektronik hemat energi dan mematikan peralatan yang membutuhkan listrik ketika tidak dipakai. Anda pun harus melakukan hal yang sama untuk menekan emisi yang berasal dari sektor energi.
Meskipun pesawat luar angkasa buatan manusia sudah mampu mencapai mars, sampai detik ini, hanya bumi lah satu-satunya planet yang dapat mendukung kehidupan ras Homo sapiens.
Oleh sebab itu, lewat upaya-upaya kecil yang dimulai dari sendiri, kita memiliki kewajiban untuk terus berusaha supaya ekosistem planet biru yang sedang kita tinggali saat ini tetap bersahabat, demi kebaikan bersama.
Emisi Nol Bersih jelas bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dalam semalam saja. Meski begitu, tak berarti target tersebut mustahil untuk diraih. Anda juga harus terlibat langsung guna mewujudkannya.
Jika bukan diri sendiri, Anda, saya, kita semua, yang memulai semua upaya itu, lalu siapa lagi? Saatnya untuk beraksi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H