Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Aktivisme Digital dan Jasa Besar Netizen +62 dalam Mengawal Kasus

27 September 2021   19:16 Diperbarui: 27 September 2021   19:22 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan hanya sekadar buat galeri atau ruang mencurahkan isi hati, media sosial juga menjadi wadah warganet guna mengekspresikan solidaritas terhadap isu-isu yang lagi viral. Kendati dikenal sangat barbar, mereka juga mempunyai andil besar kala mengawal kasus.

Jika Korea Selatan punya wajib militer, maka Indonesia juga memiliki pasukan khusus. Namun bedanya, pasukan khas +62 yang satu ini tak diwajibkan dalam membela negara lantaran mereka akan melakukannya dengan suka rela.

Mereka mempersenjatai dirinya hanya dengan bermodalkan gawai serta paket internet unlimited. Zona penugasannya pun bukan di daerah pertempuran yang dijejali oleh kobaran api yang menjala-njala dan martir yang berdarah-darah, melainkan sebatas di kolom komentar.

Satuan pasukan khusus itu mafhum kita kenal dengan sebutan "netizen +62". Ya, spesies warganet yang sangat kejam itu.

Melalui sebuah survei, Microsoft bahkan telah membuktikan, bahwa netizen +62 merupakan salah satu pengguna internet paling barbar di kolong atmosfer. Seolah-olah mengamini hasil survei itu, netizen Tanah Air serentak menyerang berbagai akun media sosial milik Microsoft secara bertubi-tubi. Siang malam!

Mereka tak terima terhadap hasil survei yang mendiskreditkan citranya. Padahal, nama mereka memang sudah sejak lama tercemar di mata publik global. Ampuni saya, Bang Jago. Tolong jangan diserang. Saya belum nikah. Bercanda doang, kok. 

Sudah tak terhitung pihak yang pernah menjadi mangsa dari keganasan jemari netizen +62. Selain Microsoft, mereka juga pernah merisak pasangan gay asal Thailand, seleb TikTok Filipina Reemar Martin, federasi bulu tangkis BWF, dll.

Kini, tak akan ada lagi yang meragukan kekuatan jari warganet Indonesia dalam membela negara di jagat virtual. Semua pihak yang mereka nilai sebagai musuh bersama, akan "musnah" dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Kalau tidak musnah, minimal banyak cercaan yang akan menghiasi hari-hari mereka yang awalnya berbunga-bunga.

Secara umum, mereka sering dipanggil netizen +62. Akan tetapi secara khusus, kalangan barbar itu lebih ideal disebut dengan istilah keyboard warrior.

Mengutip laman Urban Dictionary, arti keyboard warrior adalah orang yang tak dapat meluapkan kekesalannya dengan kekerasan fisik. Oleh sebab itu, mereka kerap memanfaatkan media sosial buat melampiaskan emosi mereka.

Agresivitas warganet dalam menyerang pihak yang dianggap "common enemy", juga dapat diterjemahkan melaui kajian psikologi. Dalam buku "The Psychology of Crowd", (1985) karya Gustave Le Bon, perilaku itu agresif dimungkinkan sebab warganet bergerak secara berkelompok serta mengusung sebuah identitas.

Tergabung dalam kelompok, nalar dan analisis berpikir netizen +62 akan lebih mudah tergerus. Bukan karena mereka tak memiliki kemampuan menghadapi persoalan, melainkan dampak lahirnya dorongan untuk ikut-ikutan alias latah.

Saat sedang seorang diri, warganet +62 mungkin termasuk individu beradab dan berbudaya. Namun, dalam kerumunan, mereka adalah makhluk barbar–entitas yang bertindak berdasarkan naluri.

Aktivisme Digital dan Jasa Netizen Mengawal Kasus

Kendati sering disebut barbar, ternyata mereka juga memiliki jasa basar dalam mengawal berbagai kasus dan isu yang tengah viral di media sosial. Itu artinya, agresivitas mereka tak melulu berujung pada hal-hal yang nackal alias negatif.

Selama ini media sosial memang telah menjadi ekosistem bagi publik dalam menumpahkan seluruh ketidakadilan, kegelisahan, solidaritas, keluhan, dan kritik sosial. Aktivisme digital, begitu fenomena tersebut acap dipopulerkan.

Aktivisme digital adalah upaya publik (netizen) lewat jejaring digital (media sosial) yang ditujukan kepada individu, organisasi, ataupun pemerintah untuk mencapai sebuah tujuan tertentu demi kepentingan serta kebaikan seseorang atau masyarakat luas.

Dalam buku bertajuk Digital Activism Decoded, The New Mechanics of Change, Mery Joice menyebut aktivisme digital sebagai berbagai usaha kolektif untuk menciptakan perubahan sosial/politik dengan memanfaatkan media digital.

Tentunya kita sudah tidak asing dengan aktivisme digital berupa tagar di Twitter. Tagar menjadi salah satu alat aktivisme yang ampuh. Ia mampu menumbuhkan solidaritas serta kepedulian publik pada isu-isu tertentu melalui simbol-simbol. Popularitas media sosial dapat membuat pesan-pesan aktivisme lewat tagar lebih mudah menjangkau banyak orang dalam tempo yang lebih singkat. 

Masih segar dalam ingatan kita, netizen Tanah Air sempat mempopulerkan tagar #UninstallGrab karena dipicu pelecahan yang dialami oleh pelanggan perempuan pada tahun 2018 lalu.

Warganet mengajak pengguna Grab lain guna menghapus aplikasi Grab di ponsel mereka dan berhenti menggunakan jasa yang disediakan oleh start-up tersebut.

Netizen menilai bahwa Grab tidak serius guna memberikan sanksi terhadap mitra driver-nya, mengingat pelakunya masih berkeliaran serta bekerja dalam naungan mereka. Grab juga dituding tak memiliki empati terhadap korban.

Aktivisme serupa juga tampak pada aksi yang terinspirasi oleh Black Lives Matter (BLM). Muncullah #PapuanLivesMatter sebagai wujud dari upaya mereka untuk meningkatkan kesadaran publik perihal ketidakadilan struktural yang terjadi di tanah Papua.

Selain melalui tagar, publik juga gemar mengawal kasus-kasus yang dianggap mencederai nilai keadilan serta norma kepatutan. Hal itu lah yang ditunjukkan netizen kala mengawal kasus pelecahan seksual yang menyeret Saipul Jamil.

Menyikapi kasus itu, mereka serempak melakukan protes dengan menyerukan aksi boikot atau cancel culture terhadap pedangdut berusia 41 tahun itu. Mereka menilai bahwa korban pencabulan kini masih menderita trauma meski ia telah menyelesaikan masa hukumannya.

Melalui petisi, warganet juga mendesak KPI guna mencegah Saipul untuk tampil lagi baik di layar kaca maupun Youtube. Petisi itu sudah mengantongi lebih dari 300 ribu suara pada 5 September 2021.

Tak sia-sia, upaya itu pun membuahkan hasil. KPI pada akhirnya meminta semua otoritas penyiaran di bawah naungannya agar berhenti mengglorifikasi kebebasan Saipul Jamil.

Aksi solidaritas senada juga diperagakan oleh netizen +62 tatkala menyikapi kasus perundungan dan pelecehan seksual yang mencatut nama sejumlah oknum pegawai KPI. Ya, lagi-lagi KPI. Otoritas yang amat gemar menyensor tayang di televisi.

Setelah sang korban (MS) memutuskan untuk menuangkan kisah yang ia alami via surat terbuka di media sosial, polisi dan pihak internal KPI akhirnya segera bertindak di tengah desakan netizen.

Padahal, sebelum kasus pelecehan viral, MS mengaku, laporannya diabaikan oleh aparat. Begitu kuat pengaruh dari netizen sehingga aparat hukum dan pihak-pihak bersangkutan langsung bertindak setelah kasusnya menyita atensi publik.

Fenomena tersebut hanya sebagian kecil kasus yang pernah dikampanyekan oleh netizen +62 lewat media sosial. Mungkin tidak semua kasus yang mereka angkat berujung manis, tetapi upaya itu sukses meningkatkan kesadaran masyarakat.

Media sosial menjadi ekosistem digital yang egaliter, memungkinkan berbagai kalangan guna mengorganisasi gerakan. Oleh karena itu, aksi seperti itu bersifat cair dan lebih efektif untuk menjangkau labih banyak orang.

Dengan cara itu, mereka juga bisa lebih bebas ketika mengekspresikan opininya dan mendorong masyarakat lain untuk berinteraksi serta mengambil tindakan. Aksi-aksi yang awalnya terkesan remeh, juga dapat bertumbuh menjadi gerakan dalam kehidupan nyata.

Saat ini, aktivisme digital lebih mudah mencuri perhatian dari otoritas terkait yang benar-benar memicu perubahan, seperti pada isu dan kasus-kasus yang saya paparkan di atas.

Sebelum lahirnya era digital, kita harus lebih dulu mengajukan laporan tiap kali merasa tidak puas dengan suatu hal. Itu pun tak ada jaminan pasti laporan akan diproses. Sekarang, jika sebuah isu atau kasusnya menjadi viral, bisa dipastikan efektivitasnya jauh lebih besar daripada sekedar mengisi formulir pengaduan.

Efektivitas aktivisme media sosial juga bergantung terhadap apakah isu yang dihembuskan dapat menyentuh empati masyarakat atau tergolong isu kolektif. Kalau syarat itu telah terpenuhi, tujuan yang ingin dicapai juga akan terpenuhi.

Meski demikian, aktivisme digital acap dibenturkan dengan pasal karet UU ITE. Untuk itu, bagi warganet +62 yang ingin menyuarakan semua keresahan mereka hendaknya perlu lebih berhati-hati lagi.

Bisa disimpulkan, kekuatan aktivisme digital dalam membentuk opini publik akan memberikan pengaruh terhadap entitas terkait dalam menyikapi kasus yang terjadi di tengah masyarakat.

Protes, kritik, dan perlawanan melalui aktivisme bisa jadi tampak amat sepele. Akan tetapi, gerakan itu menjadi wujud kontribusi netizen +62. Ia juga terbukti mampu membuka jalan menuju solusi.

Aktivisme digital yang muncul, kendati tidak ada jaminan selalu berbuah hasil, menumbuhkan kekuatan serta harapan bagi netizen +62 untuk terus mengawal dan melawan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun