Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Generasi "Bisu", Kami yang Lebih Nyaman Berkirim Pesan Dibanding Telepon

23 September 2021   12:40 Diperbarui: 24 Maret 2022   01:56 1199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi generation mute (generasi bisu). | By View Apart/ Shutterstcok via NRF.com

Apa kamu termasuk tipe orang yang jauh lebih nyaman untuk berkirim pesan saja ketimbang telepon? Jika iya, berarti kamu termasuk dalam generasi 'bisu'.

Berbicara mengenai kebiasaan telepon, membawa ingatan kembali pada tahun 2000-an, di mana masih banyak sekali Wartel yang bisa kita jumpai di banyak tempat. Desain biliknya sangatlah khas.

Pada masa kejayaannya, Wartel menjadi sarana masyarakat lapisan menengah ke bawah untuk berkomunikasi, sebab saat itu enggak banyak orang yang memiliki gawai seperti sekarang ini. Hanya orang-orang berada yang mampu membelinya.

Berbeda dengan telepon umum di kota-kota besar, Wartel bertebaran hingga ke pelosok-pelosok desa. Masyarakat rela berlama-lama mengantre hanya untuk menunggu giliran telepon. Aku sempat merasakan betapa bosannya menunggu orang-orang selesai menelepon.

Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, lahirlah berbagai jenis gawai. Orang-orang sudah enggak perlu capek-capek mengantre karena hampir semua orang sudah mempunyai gawai. Warnet pun akhirnya menemui ajal.

Setelah berakhirnya era kejayaan Wartel, teknologi ponsel pun berkembang pesat. Banyak aplikasi perpesanan yang muncul serta mulai menggantikan peran telepon. Eksistensinya juga berpengaruh terhadap kebiasaan anak muda yang lebih nyaman untuk berkirim pesan.

Kecuali sama mantan, mungkin, putus kontak sama orang-orang tercinta akan sangat sulit terjadi di era digital. 

Selama gawai masih terisi pulsa atau paket data, mereka yang awalnya jauh pun bisa jadi dekat. Bahkan, saking dekatnya sampai-sampai terlanjur sayang.

Apalagi, saat ini sudah tersedia berbagai platform digital yang memudahkan kita dalam berkomunikasi, baik lewat pesan (chatting), panggilan telepon (phone call), atau panggilan video (video call).

Meski sudah ada banyak opsi platform komunikasi, anak-anak muda generasi milenial cenderung jauh lebih nyaman untuk bertukar pesan daripada telepon. Aku sendiri merasakan hal yang sama.

Entah kenapa makin lama makin malas menerima telepon, terutama dari orang asing atau nomor tak dikenal. 

Melayani obrolan melalui telepon adalah kegiatan yang menguras tenaga dan waktu untuk orang sepertiku. Melelahkan. Apa kamu juga pernah mengalami hal serupa?

Aku cenderung membatasi siapa-siapa saja yang hendak aku terima teleponnya, terutama telepon yang masuk pada saat yang enggak tepat alias waktu lagi sibuk.

Bayangkan ketika lagi kerja atau waktu lagi asik-asiknya nonton film tiba-tiba ada telepon yang masuk. Menyebalkan!

Saat sedang berbicara lewat telepon, aku harus memfokuskan perhatian terhadap obrolan, tanpa bisa melakukan aktivitas lain. Praktis, kewajiban yang seharusnya bisa terselesaikan akan tertunda.

Sudah tak terhitung berapa telepon yang sempat aku abaikan. Catatan panggilan telepon terakhir yang tampak di histori gawaiku adalah beberapa bulan yang lalu.

Jika memang penting, mereka biasanya akan mengirim pesan dan memberitahu maksud mereka ingin menelepon. Kalau enggak ada pesan masuk, berarti enggak terlalu penting dan bisa diselesaikan via chatting.

Meski acap menghindari telepon, tidak berarti sombong. Bukan pula tipe orang yang lambat saat merespons pesan. Aku justru termasuk tipe yang quick response.

Aku lebih sering menghabiskan waktuku untuk berkirim pesan via WhatsApp dan media sosial lainnya. Selama aku sedang pegang ponsel, setiap pesan yang masuk akan aku balas saat itu juga.

Telepon menjadi opsi terakhir buat hal-hal yang sangat mendesak. Selebihnya, orang-orang biasanya menghubungiku via WhatsApp atau media sosial lainnya. Ya, meski mereka tetap saja menelepon.

Saat mengangkat telepon pun aku lebih suka berbicara di ruangan terpisah dari orang lain agar lebih privat. Tidak tahu kenapa ada rasa malu yang muncul jika harus menelepon di sekitar orang lain, apalagi kalau yang menelepon gebetan.

Anak-anak milenial memang lebih suka mengobrol secara diam-diam via pesan agar orang lain tak menguping obrolan mereka. Menjaga privasi itu penting.

Orang-orang sepertiku dikenal dengan terminologi "generasi bisu". Fenomena itu sering dijumpai pada kalangan anak muda (milenial) yang merasa jauh lebih nyaman bertukar pesan via media sosial daripada telepon saat berkomunikasi.

Keengganan dalam merespons telepon yang aku alami ternyata sejalan dengan sebuah hasil survei BankMyCell. 

Mereka mencatat, 75 persen generasi milenial cenderung akan menghindari panggilan telepon lantaran dinilai terlalu menyita waktu. Adapun 64 persen di antaranya menghindarinya untuk mengabaikan orang manja (membutuhkan bantuan).

Dari 1.200 responden milenial yang ikut ambil bagian, 29 persennya cenderung menghindari telepon dari teman, lalu 25 persen dari keluarga, dan 21 persen dari tempat kerja. Bahkan, 81 persennya bisa sampai mengalami kecemasan sebelum memutuskan untuk menerima telepon.

Ada kecendrungan yang sangat tinggi pada kalangan anak milenial yang ingin berkomunikasi dangan lebih cepat dan langsung mendapat jawaban alias tidak bertele-tele alias to the point.

Bagi mereka, komunikasi melalui pesan akan jauh lebih praktis serta tidak kikuk. Mereka juga dapat melakukan kegiatan-kegiatan lain sambil chatting. Sehingga, lebih produktif dan efisien, di mana hal itu tidak bisa dilakukan sembari telepon.

Lewat pesan, mereka mempunyai lebih banyak waktu untuk memikirkan kata-kata yang akan diutarakan. Mereka pun merasa lebih percaya diri ketika hendak menyampaikan isi kepalanya.

Eksistensi generasi 'bisu' juga semakin dipertegas dengan sebuah survei yang dilakukan Ofcom. Mereka menemukan, hanya 15 persen dari remaja berusia 16 hingga 24 tahun yang menilai telepon sebagai sarana komunikasi yang paling penting. Sehingga, mereka cenderung mengatur gawainya dalam mode getar.

Karena mereka sering memeriksa layar gawainya, mereka enggak memerlukan nada dering untuk mengetahui apa ada seseorang yang menelepon mereka.

Gawaiku pun sudah sejak lama aku atur mode getar (silent) lantaran nada dering terdengar amat menyebalkan. 

Kebiasaan itu sering berujung pada kekesalan saat mendengarkan nada dering gawai milik orang lain. Aneh, ya? Namun, memang itu lah situasi yang sering aku rasakan.

Dampak Buruk dari Generasi Bisu

Kendati terkesan sangat sepele, terlalu sering mengabaikan panggilan telepon ternyata dapat menggerus kemampuan komunikasi dasar manusia: berbicara.

Mereka yang terbiasa bersembunyi di balik aplikasi chatting, bisa mengalami kesulitan saat berbicara dengan orang lain, baik secara langsung maupun via telepon. Akan muncul kecanggungan ketika mereka dipaksa melakukannya.

Kebiasaan berkirim pesan ketimbang telepon akan mengubah cara otak kita dalam mengutarakan maksud dan ide yang hendak disampaikan. 

Kondisi itu tentunya tidak baik bagi mereka yang tengah mengejar kariernya. Interaksi sosial di lingkungan sekitar juga akan turut terganggu seiring waktu.

Biar bagaimanapun, berinteraksi lewat telepon akan membuat kita lebih mudah terhubung dengan orang lain. 

Selain itu, menyampaikan ide melalui media suara juga bisa mengurangi kesalahpahaman karena ada intonasi, ekspresi, dan emosi yang keluar saat sedang berbicara.

Saat kita sudah mulai lelah menghadapi kesibukan serta hiruk-pikuk kehidupan yang kita butuhkan adalah ketenangan. Meski begitu, jangan sampai ketenangan itu membawa dampak buruk bagi hidup kita ke depan.

Kamu boleh saja sesekali menghindari panggilan telepon asalkan tidak terlalu sering. Atau, minimal pilih-pilih mana telepon yang harus diangkat dan mana yang bisa diabaikan. Jangan semuanya dipukul rata. Bisa kacau nanti.

Orang-orang yang kerap kamu abaikan akhirnya akan mengaibakan kamu juga ketika mereka sudah sampai pada titik jenuhnya. Jangan sampai lupa.

Ingat, hindari pula untuk mengabaikan telepon dari bos kamu di kerjaan, bisa-bisa kamu nangis kejang-kejang besok paginya akibat kehilangan pekerjaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun