Belum lama ini, rumah saya dikunjungi seorang petugas dari PLN. Dia memang sering mendatangi rumah warga untuk melakukan pengecekan dan pencatatan meteran listrik secara berkala.
Akan tetapi, maksud kedatangannya ke rumah saya kala itu berbeda. Ia hendak menagih tagihan listrik bulan Juli yang terlambat saya bayar selama beberapa hari. Membawa selembar struk tagihan (pasca bayar), ia menemui ibu saya.
Ibu saya lalu membayar sesuai dengan nominal yang tertara pada struk yang dibawa oleh petugas tersebut, sebesar Rp195.360. Ibu saya tidak curiga sebab sebelumnya ia sudah pernah menagih tagihan listrik ke rumah.
Oleh ibu, struk itu ditunjukkan kepada saya. Karena saya penasaran apa betul tagihan listrik sudah dibayarkan, saya kemudian melakukan pengecekan via mobile banking. Betapa kagetnya saya saat mengetahui tagihan listrik untuk bulan Juli ternyata belum dibayarkan.
[WASPADA PENIPUAN] Hati-hati terhadap oknum yang menagih pembayaran listrik atas nama PLN!
PLN HANYA menerima pembayaran listrik secara otomatis melalui ATM, mobile banking, e-commerce, e-wallet dan kantor pos. TIDAK ADA transaksi dengan pelanggan di lapangan.#waspadapenipuan pic.twitter.com/HMm8vL5deI--- PT PLN (Persero) (@pln_123) November 6, 2020
Ketimbang listrik rumah dipadamkan secara paksa, tagihan itu pun langsung saya bayar melalui fitur mobile banking. Setelah itu, saya berusaha mengontak petugas itu untuk meminta penjelasan. Kebetulan saya pernah meminta nomor WhatsApp (WA) pribadinya.
Lewat chat WA saya bertanya, mengapa tagihan listrik rumah saya tak kunjung dibayarkan kendati ibu telah membayar secara tunai kepadanya.
Ia berdalih, sistem pembayarannya saat itu tengah mengalami gangguan, meski pada saat saya membayar lewat mobile banking, tidak ada kendala sama sekali.
Saya juga bertanya mengenai kejelasan sejumlah uang yang sudah dibayarkan ibu kepadanya. Sang petugas mengaku bersedia mengembalikan uang tersebut.
Setelah saya amati struk yang diberikan oleh sang petugas, saya menemukan ada yang tak beres dengan nilai tagihan yang tertera di sana. Ada perbedaan nominal senilai Rp5.000 dibanding nominal yang tertera pada tagihan via mobile banking yang sudah saya bayarkan.
Karena penasaran, saya pun mengunduh aplikasi PLN Mobile dari Play Store guna mengetahui nominal tagihan listrik saya yang sebenarnya. Ternyata tagihan yang saya bayar melalui mobile banking sama dengan yang ditunjukkan dalam aplikasi itu. Artinya, ada "mark-up" dari petugas yang coba dimainkan melalui struk hasil rekaan yang diberikan kepada pelanggan.
Tak berselang lama, saya menanyakan kembali mengenai perbedaan nominal tagihan pada struk melalui chat, tetapi tidak ada jawaban darinya.
Atas kejanggalan itu, saya memintanya untuk menemui saya di rumah sembari mengembalikan uang yang terlanjur dibayarkan oleh ibu saya. Ada beberapa pertanyaan yang hendak saya tanyakan kepadanya, tetapi tetap tak ada respon.
Kemarin lusa atau tepatnya Sabtu sore (29/07), petugas itu akhirnya datang ke rumah saya setelah mendatangi rumah pelanggan lainnya.
Pertanyaan pertama yang saya ucapkan, mengapa ada perbedaan antara nominal pada struk dan mobile banking. Sembari menunjukkan beberapa lembar kertas berisi data tagihan para pelanggan, sang petugas masih tetap berdalih bahwa data tagihan yang ia bawa mengelami kendala.
Untuk mematahkan data tagihannya itu, saya menunjukkan tagihan yang tertera pada aplikasi PLN Mobile. Sudah sangat jelas bahwa data tagihan yang dibawanya hanya rekayasa yang ia buat sendiri yang bertujuan guna mencari keuntungan dari pelanggan.
Saya kembali menegaskan bahwa tagihan listrik pelanggan PLN nominalnya harus sama dengan yang tertera dalam aplikasi PLN Mobile. Jika berbeda, maka ada yang salah dengan struk yang ia bawa, apapun dalih dan alasannya.
Sang petugas itu pun akhirnya mengakui kesalahannya. Ia mengaku, struk tagihan itu memang dia sendiri yang merekayasa dengan cara mengubah nominal tagihan para pelanggan yang telat membayar.
Saya mengancam akan melaporkannya kepada pihak yang berwajib jika saja ia terus melakukan praktik pungli. Hanya pada bulan Juli saja, ada sekira puluhan pelanggan yang menjadi korbannya.
Ternyata tak hanya sekali dua kali saja sang petugas melakukan praktik pungli semacam itu. Ia sering memanfaatkan keterlambatan para pelanggan dalam melunasi tagihan listrik untuk mencari keuntungan pribadi.
Sang petugas sudah pernah melakukan tiga kali penagihan dengan modus yang sama kepada ibu saya. Ada 2 struk yang saya temukan di rumah. Yang pertama (bulan Juli) selisihnya Rp5.000 dan yang kedua (bulan Juni) ada selisih Rp12.000. Struk ketiga entah hilang ke mana.
Selisih tersebut bukanlah denda dari PLN akibat keterlambatan dalam membayar tagihan listrik, tetapi petugasnya sendiri lah yang merekayasa struknya.
Untuk mengetahui data tagihan listrik yang seharusnya, saya sarankan untuk mengunduh aplikasi PLN Mobile pada gawai. Di sana tertera rincian tagihan listrik setiap bulan yang harus dibayar oleh pelanggan PLN.
Artikel ini menjadi pengingat agar kita bisa lebih berhati-hati terhadap adanya praktik pungli yang melibatkan oknum petugas PLN–yang mendatangi hunian pelanggan dengan memberikan kertas struk tagihan guna dibayar secara tunai. Ada yang modusnya penipuan. Ada pula yang menggunakan trik pungli seperti yang sudah saya uraikan di atas.
Perlu untuk diingat, PLN Pusat hanya menerima pembayaran tagihan listrik pelanggan secara otomatis atau online. Bukan lewat para petugas di lapangan.
PLN dengan tegas melarang praktik pembayaran tagihan melalui petugas. Mereka juga tidak menerapkan sistem dana talangan kepada para pelanggan, khususnya pelanggan pasca bayar.
Sistem pembayaran tagihan listrik bisa dilakukan melalui fitur mobile banking, e-commerce, e-wallet, dan kantor pos. Kalau ada petugas yang memaksa Anda bayar secara tunai, TOLAK! Cukup bayar lewat opsi yang saya sebut di atas saja.
Kalau Anda sudah terlanjur jadi korban, silakan kirim aduan lewat aplikasi PLN Mobile. Bisa juga langsung melapor ke Saber Pungli (POLRI), Ombudsman, atau kantor polisi terdekat agar ada efek jera.
Mungkin nilai uang pungli-nya setiap individu tidak banyak, mulai dari lima ribu hingga belasan ribu. Namun, lain halnya jikalau dikalikan puluhan atau bahkan ratusan pelanggan tiap bulan.
Hasilnya sudah lebih dari cukup untuk dipakai berfoya-foya di warung lesehan. Mending uangnya dimasukkan di kotak amal saja agar lebih berfaedah.
Fenomena yang saya alami sendiri itu semakin menegaskan bahwa ternyata praktik pungli masih banyak terjadi di sekitar kita. Waspadalah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H