Untuk memperkuat klaimnya, mereka mengatakan, semua medali Olimpiade terbuat dari sampah elektronik berupa ponsel bekas yang telah didaur ulang.
Kerangka kasur diketahui terbuat dari kardus daur ulang sepanjang sekitar 2 meter. Pada salah satu bagian sisi atas serta bawahnya dibuat bersekat tinggi. Konstruksinya pun cukup kokoh guna menopang beban mencapai dua orang.
Pihak produsen kasur, Arweave, turut mengklaim, kasur buatan mereka bisa menahan beban sampai 200 kilogram serta telah melalui tes yang ketat.
Selain tentang alas tidur yang menyita perhatian publik, pihak penyelenggara juga dikabarkan akan membagikan 160 ribu buah karet pengaman kepada atlet yang berpartisipasi. Sehingga, masing- masing atlet mendapat jatah 14 buah.
Meski demikian, karet pengaman yang telah diberikan tak dimaksudkan untuk digunakan di area Kampung Olimpiade. Mereka mengklaim, kondom itu hanya sebagai oleh-oleh guna dibawa pulang atlet ke negeri asalnya masing-masing.
Suvenir berupa alat pengaman itu juga untuk membantu pihak penyelenggara guna mendukung kampanyenya dalam meningkatkan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS kepada masyarakat global.
Bukankah cukup aneh saat mengetahui fakta bahwa mereka membagikan karet pengaman, tetapi tak mengijinkan para atlet melakukan hubungan seksual?
Alih-alih kondom, kenapa mereka tidak membagikan cinderamata khas Jepang untuk mempopulerkan budaya mereka? Benarkah suvenir kondom hanya untuk kampanye bahaya HIV/AIDS?
Kala Skandal Jadi Tradisi
Praktik hubungan seksual di Kampung Olimpiade sudah menjadi buah bibir di antara para atlet selama lebih dari tiga dekade. Namun, hal itu hanya menjadi rahasia umum di kalangan mereka.
Ide bahwa pria dan wanita yang sudah mencapai puncak performa fisik, akan melakukan 'puasa seks', terbantahkan manakala sekitar 8.500 buah kondom mulai dibagikan kepada para atlet pada Olimpiade Seoul, Korea Selatan, 1988.