Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Argumentum Ad Hominem", Sepercik Racun bagi Demokrasi

5 Juli 2021   12:56 Diperbarui: 5 Juli 2021   12:57 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi argumentum ad hominem. | sheepforcomics.wordpress.com

Argumentum ad hominem laksana racun di sebuah perjamuan kritik yang bergizi. Sepercik saja, niscaya akan rusak demokrasi sebelanga.

Belum lama ini, belantika perpolitikan Tanah Air diramaikan oleh kontroversi yang timbul akibat meme yang didesain Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI).

Kritik bernada satire itu menyinggung sikap serta janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mereka anggap hanyalah bualan belaka. Selain membuat meme yang terkesan agak 'nakal', mereka pun menyertakan data demi mempertajam argumennya.

Mulai dari rindu didemo, revisi pasal karet UU ITE, penguatan KPK, hingga sejumlah janji manis lain, menjadi poin yang mereka kampanyekan lewat akun resmi Twitter-nya (@BEMUI_Official).

Kritik merupakan asupan yang bergizi bagi demokrasi. Artinya, tanpa kritik, negara penganutnya akan mengalami malnutrisi. Adalah hal yang wajar bagi mahasiswa sebagai representasi dari masyarakat, melontarkan kritik pada seorang pemimpin negara.

Yang lantas menjadi persoalan adalah, tak semua pihak mau menerima kritik. Tak semua orang mampu menyikapi kritik dengan jiwa besar dan pemikiran yang rasional.

Persoalan itulah yang sering terjadi di sekitar kita. Kritik dianggap sebagai ancaman dan provokasi, bukan sebagai momentum untuk introspeksi diri. Ledakan amarah adalah responnya saat mereka tidak pandai mengolah kritik sebagai sajian yang penuh gizi.

Usai meme satire mereka menjadi viral di media sosial, respon masyarakat pun beraneka-ragam. Publik terbelah, banyak yang pro, tak jarang pula yang kontra. Dan, sejatinya hal itu sangat lumrah.

Sayangnya, tidak semua pihak mampu menyikapinya dengan pikiran terbuka. Pihak yang kontra marah besar saat sosok pemimpin idolanya 'dilecehkan' melalui meme tersebut.

Mereka tampak lebih sibuk membahas desain mahkota dan jargon "The King of Lip Service" yang disematkan terhadap Presiden Jokowi ketimbang beradu ide dan argumentasi mengenai ragam isu yang disinggung oleh pengurus BEM UI.

Lebih mirisnya lagi, mereka juga bahkan menyerang sisi pribadi mahasiswa, mulai dari IPK, idola, hiburan favorit, hingga unggahan terdahulu mereka.

"Ternyata kualitas mahasiswa UI seperti ini toh. Tidak berkualitas banget. Dari tahun ke tahun BEM UI kualitasnya menurun seperti ini. Itu ketua BEM-nya mahasiswa abadi, ya? IPK cumlaude 3,5 jadi asdos, tetapi tidak lulus-lulus," ucap salah satu netizen.

Tidak cukup hanya mengulik privasi dalam hal akademis, ada pula yang mengaitkan mereka dengan media sosial berbasis video dan gim yang tengah populer di kalangan remaja.

"Enggak ada geregetnya mahasiswa zaman sekarang. Kebanyakan main TikTok sama Mobile Legend," celoteh warganet yang lain.

Selain itu, ada pula yang menyinggung BTS dan Blackpink sebagai idola generasi milenial, dan hal-hal lain yang sejatinya tidak ada kaitannya sama sekali dengan kritik yang mereka kampanyekan.

Ilustrasi argumentum ad hominem. | sheepforcomics.wordpress.com
Ilustrasi argumentum ad hominem. | sheepforcomics.wordpress.com
Di hadapan metode berpikir, narasi semacam itu adalah manifestasi kesesatan logika (logical fallacy). Dalam bukunya "Dasar-Dasar Logika" (1999), E. Sumaryono mendefinisikan kesesatan logika sebagai proses penalaran atau argumentasi yang tidak logis, salah arah, sekaligus menyesatkan.

Kesalahan itu muncul akibat pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memerhatikan relevansinya. Dalam dialektika argumentasi, malnutrisi logika itulah yang sering menyebabkan orang tersesat dalam metode berpikir.

Saat seseoramg tengah menderita defisit logika dan pengetahuan, lazimnya mereka akan meradang, kemudian melancarkan argumentum ad hominem.

Menurut Edward T. Damer dalam Attacking Faulty Reasoning, argumentum ad hominem merupakan serangan terhadap aspek pribadi individu sebagai strategi untuk mengabaikan atau mendiskreditkan argumennya.

Orang yang sudah terjangkit virus tersebut, tidak membedah argumennya melalui ide, tetapi justru menyinggung sisi personal dari lawan diskusinya.

Mereka menyerang kebenaran atas sebuah klaim dengan menunjuk sifat negatif orang-orang yang mendukung klaim itu. Sementara substansi dari diskusi justru diabaikan. Mereka akan selalu menganggap serangan aspek privasi itu sebagai sangkalan terhadap argumen.

Aspek personal yang diserang bisa beraneka-macam, mulai dari sifat, karakter, kebiasaan, kesukaan, latar belakang, hingga atribut lain yang tidak terkait dengan substansi.

Dalam hal kritik oleh BEM UI, karakter, kesukaan, dan prestasi mereka tidak mengubah fakta bahwa Presiden Jokowi belum membuktikan janjinya.

Benar mereka adalah mahasiswa yang memiliki tugas untuk belajar, tetapi bukan berarti mereka tidak boleh mengkritik atau kritiknya dinilai salah hanya karena status mereka.

Jika sejumlah pihak mengklaim Jokowi sudah menepati janji-janjinya, idealnya mereka harus beradu argumen dan juga memaparkan data. Sehingga, akan tercipta iklim demokrasi yang sehat dan bermartabat.

Bagi mereka yang masih bisa berpikir waras, akan sangat sulit untuk mencari keterkaitan antara IPK, BTS, Blackpink, dan Mobile Legend dengan materi kritik BEM UI terhadap Jokowi.

Meski begitu, tak selamanya argumentum ad hominem dilarang untuk dilakukan. Misalnya, dalam konteks kesaksian di pengadilan, kondisi personal saksi amat krusial untuk dibahas guna menunjukkan kredibilitas isi kesaksiannya.

Begitu halnya dalam konteks Pemilu bahwa karateristik pribadi harus diuji. Rekam jejak kehidupan personal calon aparatur negara "boleh" didiskusikan.

Apalagi, undang-undang juga mensyaratkan kebijakan itu dalam menentukan kelayakan mereka untuk maju sebagai pejabat negara.

Argumentum ad hominem atau tidak, konteks lah yang menjadi pembedanya. Hanya dalam konteks diskusi mengenai suatu isu spesifik, serangan terhadap pribadi dengan varian dan cara apa pun, tidak boleh dilakukan. Hal yang perlu dilakukan adalah menanggapi isu dan argumen yang mereka utarakan.

Sayangnya, menciptakan ekosistem diskusi yang sehat di media sosial semakin sulit akhir-akhir ini. Tidak lain karena kehadiran pendengung (buzzer) yang meracuni demokrasi dan kebebasan dalam berekspresi.

Argumen harus selalu dilawan dengan argumen. Data harus diserang dengan data. Itulah inti sari demokrasi. Bukan justru dihantam dengan jasa tangan-tangan kotor pasukan pendengung yang bersenjatakan argumentum ad hominem!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun