Terkesan peyoratif memang, tetapi jika diamati dengan lebih seksama, lelucon bapak-bapak mempunyai karakteristik khas, seperti halnya genre humor lain. Lebih kerennya lagi: ia punya kekuatan khusus untuk membuat makhluk hidup tertawa gemas, bahkan sampai lemas.
Di Jepang, "dad jokes" dikenal dengan istilah "oyaji gyagu", artinya "candaan orang tua". Sementara di Korea dikenal lewat terminologi "ajae gaegeu" yang dipopulerkan pembawa acara komedi.
Guyonan bapak-bapak yang dikenal di negara-negara tersebut berkaitan erat dengan budaya negeri mereka masing-masing. Hal itulah yang membuat jenis humor tersebut sangat unik.
"Anda bisa duduk sendiri dan membaca semua daftar meme (jokes bapak-bapak) tanpa harus dijelaskan dulu atau adanya rintangan budaya apa pun. Itu langsung terhubung lewat sebuah ide," ucapnya.
Walaupun berbeda budaya, "dad jokes" memiliki gaya khas utama: harus garing serta memberikan kesan tidak nyaman. Namun, kedua faktor itulah yang justru kerap ditertawakan oleh pemirsanya.
"Dad jokes" memang terkadang enggak harus lucu agar ditertawakan. Hal yang cukup familiar bukan, saat mengamati wakil rakyat kita tidur santuy di gedung DPR? Atau, pimpinan negara yang suka melakukan komedi berdiri di istana?
Namun, hambatan itu sama sekali tidak mengurangi antuasiasme mereka untuk tetap melawak atau setidaknya membuat anggota keluarganya gemas. Oleh sebab itu, meski tidak lucu, tertawalah. Tolong hargai jerih payah bapak kalian, ya.
Fenomena lelucon bapak-bapak identik dengan sebuah karya seni, yang saking buruknya sampai-sampai jadi bagus.
Terminologi "dad jokes" pertama kali ditemukan di kolom Gettysburg Times tahun 1987 yang ditulis Jim Kalbaugh. Pada Hari Ayah saat itu, ia tidak hanya ingin memperkenalkan lelucon bapak-bapak kepada publik, melainkan juga ingin agar genre jokes itu dilestarikan.