Bukan hanya digunakan untuk menakut-nakuti, ada pelajaran budi pekerti dan akhlak dalam cerita hantu yang dituturkan orangtua zaman dulu.
Indonesia dikenal memiliki keberagaman suku dan budaya yang sangat berlimpah. Keberagaman itu juga mencakup cerita rakyat (folklore), mitologi, serta kisah hantu (ghostlore).
Setiap daerah di seluruh penjuru Nusantara, dari Sabang hingga Merauke, mempunyai ciri khas masing-masing dalam menarasikannya. Kisah tentang hantu, misalnya, mempunyai narasi dan varian yang sangat beragam sekaligus unik.
Di Jawa Barat saja, menurut hasil studi dari peneliti permainan tradisional, Zaini Alif, ada sekira 300 jenis narasi hantu yang sudah teridentifikasi. Fakta itu dia ungkapkan melalui penelitian terhadap varian hantu yang banyak dikenal oleh warga Jawa Barat.
"Sejak 2016 diteliti sampai sekarang ini sudah ada kurang lebih 300 jenis jurig (hantu). Yang menarik, hantu-hantu ini tidak endemik, setiap wilayah berbeda-beda," ungkap Zaini.
Meski demikian, penelitian itu bukan dimaksudkan untuk melegitimasi eksistensi makhluk ekstra-terestrial. Namun, sebagai ikhtiar guna menggali dan menegaskan betapa kaya kearifan lokal bangsa Indonesia.
Narasi hantu yang ditemukan oleh Zaini lazimnya berasal dari cerita anak. Taruhlah Jurig Jarian, hantu dari tanah Sunda yang dipercaya sebagai penghuni tempat-tempat kotor di sekitar pemukiman warga.
Bukan tanpa alasan, masyarakat memanfaatkan kisah Jurig Jarian sebagai media diplomasi guna melarang anak-anak bermain di tempat sampah, yang dikhawatirkan terkena pecahan kaca serta terpapar bakteri dan kuman.
Selain itu, ada pula narasi sandekala yang digunakan sebagai penunjuk waktu sekaligus pantangan, yang mana anak-anak tidak diperkenankan untuk bermain di luar rumah menjelang Magrib.

Konon, berbagai jenis sosok tak kasat mata akan keluar dari tempat persembunyiannya menjelang Magrib, kemudian bertebaran di alam manusia.
Sebagaimana yang pernah saya tulis dalam artikel berjudul "Mengurai Mitologi Sandekala, Larangan Anak Keluar Rumah Jelang Magrib", Wewe Gombel merupakan salah satu sosok hantu yang dikisahkan kerap muncul saat sandekala.
Narasi itu dipakai untuk berdiplomasi dengan anak-anak agar mereka mau menuruti perintah orangtua untuk masuk ke dalam rumah. Pasalnya, saat-saat menjelang petang adalah waktu bagi mereka untuk beribadah, belajar, dan berkumpul dengan keluarga.
Varian hantu dari tanah Sunda lainnya adalah Lulun Samak yang menghuni kawasan perairan. Lazimnya, kehadiran mereka ditandai dengan munculnya tikar di atas permukaan aliran sungai atau danau.
Tak sekedar menakut-nakuti, narasi itu dipakai agar anak-anak tidak terlalu lama mandi di sungai karena dikhawatirkan bisa kelalap atau terhanyut bersama arus air.
Kisah yang sama juga dituturkan oleh orangtua di daerah Jawa Timur, dengan sosok tak kasat mata yang disebut dengan istilah Kalap.
Bagi mereka yang terlahir sebelum era digital, tentu sudah tak asing lagi dengan kisah hantu yang gemar menghuni semak-semak atau area yang ditumbuhi pepohonan. Mereka gemar menampakkan diri pada malam hari.
Serupa dengan narasi lainnya, kisah semacam itu dituturkan orangtua agar anak-anak tidak berisiko terluka oleh hewan liar dan tetap dalam perimeter pengawasan orangtua saat bermain.
Lebih dari itu, diplomasi hantu tak hanya sebatas dipakai dalam cerita anak. Masyarakat adat juga memakai pendekatan yang sama untuk meruwat kelestarian alam.
Sebelum masuknya agama, penduduk Nusantara terlebih dahulu menganut paham animisme dan dinamisme. Kepercayaan tersebut berkaitan erat dengan keberadaan makhluk-makhluk halus.
Mereka percaya akan adanya sosok tak kasat mata, yang tinggal di dalam benda dan tempat-tempat tertentu. Adapun area yang biasa didiami oleh makhluk astral adalah di persimpangan jalan, kuburan, pohon besar, sudut rumah, dll.
Itulah sebabnya setiap bepergian, kita hendaknya lebih berhati-hati, terutama saat melewati tempat-tempat angker.
Aturan seperti membunyikan klakson setiap melintas di tikungan pun dipopulerkan. Selain sebagai bentuk "permisi" terhadap makhluk tak kasat mata, pembunyian klakson juga dapat meningkatkan kewaspadaan para pengguna jalan lain. Sehingga, kecelakaan bisa dihindari.
Selain jalan, hutan belantara kerap kali dikisahkan oleh masyarakat sebagai sebuah ekosistem yang begitu angker. Berbagai figur hantu, kisah mistis, dan pantangan dituturkan secara turun-temurun oleh leluhur kita.
Beberapa hutan di Nusantara memang dikenal sangat angker oleh masyarakat. Taruhlah Alas Purwo di Banyuwangi, Alas Roban di Batang, Hutan Halimun Salak di Bogor, Hutan Sungai Bening di Sambas, dan Hutan Bukit Barisan di Lampung.
Setiap hutan itu memiliki narasi mistisnya masing-masing dengan figur hantu yang beraneka ragam pula. Bahkan, kisah-kisah mistis tersebut masih dipercaya dan dituturkan hingga detik ini.
Beberapa masyarakat adat mengidentifikasi bentang alam itu dengan sebutan Hutan Larangan atau Hutan Terlarang, sebuah hutan yang tak sembarang orang boleh memasukinya.
Hutan Larangan diklasifikasikan bukan berdasarkan vegetasi atau secara geografis, tetapi menurut nilai sakralitas yang diyakini oleh masyarakat setempat.
Banyak aturan serta syarat yang harus dipenuhi sebelum memasuki hutan. Pantangan pun harus dijauhi agar tak mendatangkan bala dan musibah, baik bagi komunitas adat setempat maupun bagi mereka yang akan memasuki hutan.
Beberapa pohon besar yang berusia tua bahkan diberikan label keramat atau suci, yang dipercaya memiliki penunggu, misalnya pohon beringin.
Flora yang bernama ilmiah Ficus benjamina itu dianggap bisa melindungi penduduk setempat. Berbagai sesajen pun diberikan sebagai wujud sakralitas agar tidak banyak orang yang berani mendekat, apalagi menebangnya.
Mayoritas masyarakat Indonesia meyakini, selain menjadi rumah bagi flora serta fauna, hutan juga dihuni oleh makhluk tak kasat mata. Narasi itulah yang mengikuti setiap kisah keangkeran hutan yang dituturkan dari mulut ke mulut.
Tujuannya tak lain agar masyarakat tak memasuki hutan secara sembarangan karena dikhawatirkan akan merusak kelestarian hutan dan berbagai jenis satwa liar penghuninya.
Dalam tatanan masyarakat primordial, kisah hantu digunakan untuk mengantisipasi kebiasaan buruk yang berpotensi melanggar aturan dan mengusik kelestarian alam.
Yang seharusnya anak-anak belajar, beribadah, dan berkumpul bersama keluarga, tetapi malah bermain di luar rumah tanpa pengawasan orangtua.
Begitu halnya kekayaan bentang alam Indonesia yang idealnya harus dijaga kelestariannya, tetapi justru dirusak untuk memperkaya diri sendiri.
Di mata masyarakat modern, narasi semacam itu mungkin tampak sangat irasional dan berlebihan. Namun, di balik kisah-kisah hantu yang terkesan horor, terdapat pendidikan akhlak dan budi pekerti.Â
Pasalnya, atas jasa kearifan lokal, kelestarian alam dapat tetap terjaga dan cara pandang masyarakat terhadap kehidupan akan jauh lebih bersahaja.
Kisah hantu merupakan produk kearifan lokal, yang menjadi medium diplomasi yang cukup efektif dan efisien. Sayangnya, keampuhannya saat ini semakin tergerus oleh perkembangan jaman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI