Dampaknya, berbagai perusahaan asing berbasis internet telah banyak yang jadi korban, termasuk sejumlah perusahaan raksasa penguasa jagat internet.
Google pertama kali diblokir pada bulan September 2002. YouTube menyusul usai kerusuhan di Tibet pada 2008, dan diikuti oleh Facebook dan Twitter pasca adanya kerusuhan di Xinjiang pada 2009 silam.
Instagram pun turut dicekal di daratan Cina setelah terjadinya aksi protes oleh kelompok pro-demokrasi di Hongkong pada 2014. Sejurus kemudian, lantaran tidak menyetujui penghapusan enkripsi, Whatsapp dan Telegram bernasib sama.
Kebijakan kontroversial tersebut menuai banyak kecaman dari pemerintah global. Namun, di sisi lain, regulasi itu ternyata memberikan dampak yang sangat positif nan masif bagi industri domestik Cina.
Meski sudah mengisolasi diri dari dunia luar, uniknya, semua lini bisnis internet di Cina justru mengalami perkembangan yang begitu pesat.
Selain karena faktor kemajuan teknologi, angka pengguna internet Tiongkok yang mencapai 989 juta jiwa juga dinilai telah berkontribusi besar bagi perkembangan industri teknologi di Negeri Panda.
Media dan layanan internet baru produk dalam negeri lantas bermunculan secara sporadis. Mereka menawarkan fitur yang tak kalah canggihnya jika dibandingkan dengan teknologi perusahaan Barat.
Mereka dapat menggantikan peran dari Google sebagai mesin pencarian dengan Baidu kendati menampilkan hasil-hasil pencarian yang telah disensor negara.
Baidu berhasil menuai kesuksesan besar akibat absennya Google. Merujuk laporan dari Statista, mereka meraup pendapatan senilai 16,4 miliar dolar AS pada 2020.
Perusahaan e-commerce milik Jack Ma, Alibaba, juga menuai kesuksesan akibat kebijakan tersebut. Pada tahun 2020 lalu, perusahaan pesaing terberat Amazon itu berhasil meraup pundi-pundi mencapai 72 miliar dolar AS.