Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jika Eks Koruptor Jadi Penyintas Korupsi, Warga Dianggap Apa?

1 April 2021   16:32 Diperbarui: 2 April 2021   05:23 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senyum sejumlah para tersangka koruptor saat digelandang oleh KPK. | Foto: kumparan.com

Melalui wacana pemberian label "penyintas korupsi" bagi mantan napi korupsi, bisa jadi KPK ingin mengajak masyarakat bercanda.

Dalam agenda penyuluhan antikorupsi di Lapas Sukamiskin, Bandung, Rabu (31/3), ada wacana absurd yang dilontarkan oleh sosok Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana.

Dia menyebut mantan napi kasus korupsi sebagai penyintas korupsi. Menurutnya, mereka telah mendapat banyak pelajaran "berharga" yang patut dibagikan kepada masyarakat setelah menjalani hukuman.

"Masyarakat apa pun juga, termasuk di lapas yang kebetulan punya pengalaman, penyintas korupsi, sehingga diharapkan dengan pengalaman yang mereka dapatkan bisa di-sharing," ucap Wawan, seperti yang dikutip dari Kompas (31/3).

Ide itu muncul dengan harapan bahwa semua pengalaman yang dibagikan eks koruptor ke masyarakat bisa mencegah praktik korupsi. Dengan begitu, upaya pemberantasan korupsi melalui aspek pencegahan bisa berjalan lebih efektif.

"Calon-calon (koruptor) kita harapkan tidak jadi punya niat setelah dengar testimoni dari para warga binaan, harapannya pengalaman-pengalaman itu bisa diterima oleh masyarakat lain dan tidak jadi  melakukan korupsi."

Bisa jadi KPK hanya ingin bercanda saat itu, mengingat ide tersebut sangat sulit diterima logika. Bayangkan, bagaimana bisa penghianat bangsa justru diberikan gelar "penyintas" setelah menggarong uang rakyat secara berjamaah?

UU 30/2002 yang menjadi dasar hukum pembentukan KPK, sudah sangat terang menyebut kasus korupsi ialah kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Dengan bahasa lain, kadar 'dosa' korupsi selevel dengan pembunuhan massal. Apa jadinya kalau eks napi genosida diberikan panggung untuk melakukan penyuluhan dalam melawan kejahatan HAM?

Dalam KBBI, penyitas berarti orang yang mampu bertahan hidup. Sementara pada bahasa Inggris, penyintas dikenal dengan kata "survivor". Artinya, seseorang yang tetap hidup kendati hampir meninggal.

Lazimnya, label "penyintas" disematkan kepada orang-orang yang dapat selamat atas sebuah bencana, taruhlah bencana alam, penyakit, tragedi, atau kecelakaan.

Dari segi pengertian dan fungsi saja, ide "penyintas korupsi" sudah terkesan lucu. Label penyintas hanya berhak disandang oleh para korban. Saya ulangi, korban.

Dalam kasus korupsi, yang sejatinya jadi korban adalah rakyat dari Sabang sampai Merauke. Penyematan label "penyintas" kepada koruptor justru bisa melukai hati dan logika masyarakat dua kali.

Warga yang menjadi korban, justru para pelaku yang diberi pengakuan. Kita yang digarong, malah malingnya yang dapat penghargaan. Apa masih kurang kocak?

Jika wacana itu betul-betul dieksekusi oleh KPK, akan lahir sebuah prahara di dunia persilatan. Kontradiksi dalam ide tersebut, akan diikuti oleh kontradiksi-kontradiksi yang lain pada masa depan.

Pelaku pembunuhan dapat mengajukan untuk menjadi penyintas pembunuhan. Para pelaku pemerkosaan juga meminta untuk dipanggil penyintas rudapaksa.

Virus korona pun tak mau ketinggalan. Mereka akan menuntut manusia untuk memberikan lencana "penyintas Covid-19" kepada spesiesnya di luar sana.

Selain cacat logika, hal yang dapat kita tangkap dari label "penyintas" kepada eks napi korupsi bukanlah manifestasi hukuman, tetapi sebuah penghargaan.

Predikat itu memberi kesan seolah-olah setelah mereka menggarong uang rakyat Bumi Pertiwi, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote, aparat penegak hukum justru memberi mereka gelar penghargaan.

KPK menganggap bahwa para kandidat koruptor bisa insyaf dan tobat lebih dini usai mendengarkan curhat serta keluh kesah (testimoni) dari koruptor senior.

Jangankan curhat, penambahan vonis hukuman saja tidak mampu meredam kasus korupsi, apalagi cuman curhat? Yang benar saja!

Saya coba beri contoh perihal kebiasaan almarhum hakim Artidjo Alkostar yang dikenal kejam terhadap koruptor. Beliau punya hobi memperberat hukuman para tikus berdasi. Hasilnya?

Ya, korupsi masih tetap merajalela. Vonis hukuman yang lebih berat faktanya tidak cukup ampuh meberikan efek jera kepada calon-calon koruptor di negeri ini.

Lantas, apakah KPK berharap para calon koruptor akan berubah jadi waras setelah mendengarkan curhat eks napi tipikor?

Menyikapi polemik tersebut, ICW turut bersuara. Salah satu aktivis ICW, Kurnia Ramadhana, menilai, agenda sosialisasi antikorupsi di Lapas Sukamiskin adalah bentuk pemborosan anggaran. 

Sebab, menurut pemantauan ICW, dari seluruh warga binaan yang mengikuti kegiatan sosialisasi, hanya delapan napi KPK yang turut serta dalam acara itu.

"Hasil yang didapatkan dari kegiatan itu hampir bisa dipastikan nol besar," ujar Kurnia, seperti dikutip dari Detik, (1/4). 

Yang saya takutkan seandainya eks napi korupsi diminta membagi pengalaman mereka secara terang-terangan, justru mampu membuat calon koruptor tergiur ingin segera korupsi dan masuk penjara.

Sebab, Mata Najwa sudah menunjukkan, bagaimana mewahnya penjara di negeri ini yang bahkan lebih mirip kos eksklusif dengan fasilitas yang sangat lengkap.

Sebetulnya wacana pemberian panggung kepada para pesakitan bukanlah hal yang benar-benar anyar. Misalnya, aktor Roy Marten yang dijadikan duta antinarkoba setelah terjerat kasus narkoba.

Roy berperan memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas tentang bahaya narkoba. Ironisnya, usai dipilih menjadi duta antinarkoba, ia ditangkap kembali lantaran tersandung kasus yang sama.

Hingga yang terbaru, yang juga tak kalah kocaknya. Penangkapan Nurdin Abdullah terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi.

Aspek yang membuat kasus itu semakin menarik adalah, bahwa sosok eks bupati Bantaeng itu dikenal sebagai orang yang memiliki integritas.

Dia pernah dianugerahi Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) pada tahun 2017 lantaran dianggap sebagai pejabat pemerintahan yang steril dari korupsi!

Nyatanya, Nurdin bukan satu-satunya. Sebelumnya, sosok eks Dirut PLN, Nur Pamudji, juga terjerat kasus yang sama.

Sebagaimana Nurdin, dia juga penerima Bung Hatta Award yang diraihnya pada 2013 lalu. Namun, dalam perjalanannya, Nur Pamudji juga terlilit kasus korupsi.

Dari femonena itu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pemberian label dan penghargaan, tidak mampu mencegah para penerimanya dari tindak kejahatan yang sama pada kemudian hari.

Pemberian predikat "penyintas korupsi" juga menjadi preseden buruk bagi sebuah bangsa yang pada saat ini tengah gencar-gencaranya berperang melawan korupsi.

Senyum sejumlah para tersangka koruptor saat digelandang oleh KPK. | Foto: kumparan.com
Senyum sejumlah para tersangka koruptor saat digelandang oleh KPK. | Foto: kumparan.com
Kalau KPK tetap bersikeras memberikan predikat penyintas korupsi kepada para koruptor, kelak mereka tidak hanya akan senyum-senyum ketika diseret ke jeruji penjara, bisa-bisa mereka akan kayang. Bersorak-sorai. Girang!

Semoga saja KPK hanya ingin bercanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun