Lazimnya, label "penyintas" disematkan kepada orang-orang yang dapat selamat atas sebuah bencana, taruhlah bencana alam, penyakit, tragedi, atau kecelakaan.
Dari segi pengertian dan fungsi saja, ide "penyintas korupsi" sudah terkesan lucu. Label penyintas hanya berhak disandang oleh para korban. Saya ulangi, korban.
Dalam kasus korupsi, yang sejatinya jadi korban adalah rakyat dari Sabang sampai Merauke. Penyematan label "penyintas" kepada koruptor justru bisa melukai hati dan logika masyarakat dua kali.
Warga yang menjadi korban, justru para pelaku yang diberi pengakuan. Kita yang digarong, malah malingnya yang dapat penghargaan. Apa masih kurang kocak?
Jika wacana itu betul-betul dieksekusi oleh KPK, akan lahir sebuah prahara di dunia persilatan. Kontradiksi dalam ide tersebut, akan diikuti oleh kontradiksi-kontradiksi yang lain pada masa depan.
Pelaku pembunuhan dapat mengajukan untuk menjadi penyintas pembunuhan. Para pelaku pemerkosaan juga meminta untuk dipanggil penyintas rudapaksa.
Virus korona pun tak mau ketinggalan. Mereka akan menuntut manusia untuk memberikan lencana "penyintas Covid-19" kepada spesiesnya di luar sana.
Selain cacat logika, hal yang dapat kita tangkap dari label "penyintas" kepada eks napi korupsi bukanlah manifestasi hukuman, tetapi sebuah penghargaan.
Predikat itu memberi kesan seolah-olah setelah mereka menggarong uang rakyat Bumi Pertiwi, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote, aparat penegak hukum justru memberi mereka gelar penghargaan.
KPK menganggap bahwa para kandidat koruptor bisa insyaf dan tobat lebih dini usai mendengarkan curhat serta keluh kesah (testimoni) dari koruptor senior.
Jangankan curhat, penambahan vonis hukuman saja tidak mampu meredam kasus korupsi, apalagi cuman curhat? Yang benar saja!