Praktik tersebut kerap kali dikritik oleh organisasi pemerhati HAM sebab dapat melanggengkan eksploitasi para buruh. Banyak majikan yang 'menyita' paspor, lantas memperlakukan mereka dengan amat buruk tanpa konsekuensi hukum.
Kafala menyebabkan para buruh migran dalam posisi lemah karena paspor serta dokumen krusial lainnya dikuasai pihak sponsor sehingga mereka tidak mungkin pindah kerja tanpa restu dari majikan.
Akibatnya, majikan atau sponsor kerap memperlakukan buruh migran dengan semena-mena. Mereka tidak akan bisa melarikan diri dari perlakuan buruk.
Menurut data dari Human Rights Watch, Qatar memiliki angkatan pekerja migran lebih dari dua juta jiwa, yang mencakup 95% dari total angkatan kerja. Ada sekira satu juta di antaranya yang bekerja dalam bidang konstruksi.
Oleh sebab itu, pemerintah Qatar tidak tampak menyikapinya dengan terlalu serius. Pasalnya, sebagian besar buruh bukan warga Qatar yang sudah terlahir sultan sejak dalam kandungan.
Amnesty International turut melaporkan bahwa telah terjadi eksploitasi terhadap buruh migran yang membangun fasilitas Piala Dunia seperti Khalifa Stadium.
Amnesty International mengungkapkan fakta-fakta mengejutkan antara lain:
#1. 79 persen pekerja membayar ongkos rekrutmen kepada entitas sponsor yang mana terlalu tinggi, sehingga tak jarang dianggap utang yang perlu dibayar oleh buruh kepada majikannya.
#2. Pihak kontraktor kerap tak memberi hari libur kepada buruh migran. Bahkan, dijumpai pekerja yang tidak pernah libur selama hampir 5 bulan.
#3. 25 persen pekerja takut melaporkan masalah kesehatan, nasib, serta faktor keselamatan kerja akibat takut dipecat.