Para teroris acapkali membajak dalil serta dalih agama sebagai justifikasi terhadap semua aksi biadabnya. Sebenarnya mereka tidak sedang menjalankan titah agama, tetapi nafsunya sendiri.
Lagi, awan kelam menyelimuti negeri ini. Insiden bom bunuh diri terjadi usai umat Katolik melakukan prosesi Misa Minggu Palma di Gereja Katedral Kota Makassar, pada Minggu, 28 Maret 2021.
Bom yang meledak oleh perilaku biadab teroris itu menyebabkan 20 korban luka. Sementara itu, dua mayat yang tewas di tempat diduga kuat adalah sang pelaku.
Sudah terlalu sering aksi keji semacam itu terjadi di Indonesia dan negara lain. Sebagian besar pelakunya melancarkan aksi teror menggunakan ayat dan dalil agama sebagai justifikasi.
Situasi pandemi juga dianggap memiliki 'andil' atas berkembangnya radikalisme. Ide tentang intoleransi dan ekstremisme kekerasan makin mudah beranak-pinak dalam kondisi krisis seperti sekarang ini.
Selain dalil, mereka juga memanfaatkan isu-isu terkini dalam mendelegitimasi pemerintah, misalnya, pandangan yang menyatakan bahwa negara dinilai sudah gagal perihal penanganan pandemi.
Narasi tersebut lantas 'digoreng' untuk menanamkan kebencian dan bibit-bibit radikalisme. Yang menjadi target adalah kaum minoritas, aparat keamanan dan otoritas negara yang acapkali dianggap sebagai simbol taghut (berhala).
Ujaran kebencian yang intimidatif dapat berwujud macam-macam, salah satunya, ialah tentang kebijakan pelarangan solat berjamaah di masjid akibat pandemi.
Narasi itu yang lantas 'dipelintir' sebagai bentuk penindasan terhadap umat Islam dan menempatkan mereka sebagai kaum yang terzalimi. Hingga akhirnya terlahir sebuah premis bahwa pemerintah harus dilawan--dengan berbagai cara.
Ujaran kebencian seperti itu akan begitu mudah berujung pada aksi ekstremisme, bahkan terorisme, teruhlah seperti yang terjadi di Gereja Katedral Kota Makassar.