Sejatinya mereka tidak sedikitpun peduli dengan pandemi. Ketimbang bersimpati, mereka justru memanfaatkan kondisi itu untuk melancarkan aksi biadabnya.
Ketika perhatian negara dan masyarakat tengah berfokus pada penanganan serta pemulihan pandemi, mereka mengendus momemtum untuk dieksploitasi.
Penyebaran hoaks dan kebencian makin terbantu dengan eksistensi media sosial. Banyak dijumpai narasi tendensius pada ruang siber yang mengaitkan kebijakan pemerintah pada pendiskreditan agama atau kelompok tertentu.
Terkadang, kita secara tidak sadar turut membantu mereka dengan menyebarkan narasi itu di jagat medsos. Mereka pandai mengisi bias antara kritik dan hoaks demi melancarkan misi jahatnya.
Setelah teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidorajo pada 2018 lalu, asumsi yang mengatakan, agama kerap dimanfaatkan guna menanamkan bibit-bibit terorisme, berkembang di ruang diskusi publik.
Ketika itu tagar #TerorismeBukanIslam sempat menyeruak dan viral dalam jagat Twitter. Netizen menolak tudingan yang mengatakan, agama merupakan sumber radikalisme, tetapi tak jarang pula yang mengamini meski sedikit malu-malu.
Diskursus itu memperlihatkan perebutan makna, tafsir, serta simbol agama. Dan, hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara lain pun demikian.
Makna dan simbol agama akan diartikan oleh masyarakat sesuai pemahamannya masing-masing. Ada yang menggunakan agama sebagai inspirasi untuk berbagai kegiatan dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan kemanusiaan.
Namun, bisa juga sebaliknya. Agama pun bisa dijadikan simbol, identitas, dan titik mobilisasi gerakan kelompok-kelompok tertentu untuk tujuan yang destruktif dan bertentangan dengan nilai kemanusiaan.
Itu fakta yang agaknya sangat sulit untuk dibantah. Diskursus tersebut bisa muncul pada agama manapun, tidak sebatas pada satu agama tertentu saja.
Seorang peneliti radikalisme dari UGM, Doktor Najib Azca, mengatakan bahwa agama, khususnya yang tertuang dalam kitab suci, memiliki dimensi ambigu.