Tatkala UU ITE serta Polisi Virtual masih menjadi polemik, terbitlah Badge Awards kemudian. Apakah mereka hendak mengadu rakyat?
Usai resmi diberlakukan, seorang warga asal Slawi, Tegal, menjadi 'ikan' perdana yang berhasil dijaring oleh Polisi Virtual, yang lebih mirip pukat harimau itu.
Dia diamankan oleh Tim Polisi Virtual Polresta Surakarta sebab telah menulis komentar yang dinilai menistakan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
Uniknya, meski terdaftar sebagai warga Tegal, dia justru disanksi oleh Polresta Surakarta, yang 'kebetulan' merupakan domisili serta wilayah kepemerintahan Mas Wali Kota bersangkutan.
Dalam kolom komentar, pria berinisial AM itu menulis: "Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja," yang dinilai mengandung unsur hoaks.
Kata "dikasih jabatan" itulah yang lantas menyeret sang warganet ke dalam jaring pukat harimau polisi. Dari kasus itu kita bisa memetik pelajaran, begitu lebarnya bias sebuah kata yang mampu mengirim seseorang ke dalam jeruji pesakitan.
Fakta yang tepat, menurut polisi, Gibran menjadi Wali Kota oleh karena menang Pemilu, bukan lantaran hasil pemberian dari bapaknya yang seorang presiden.Â
Padahal, frasa dikasih jabatan juga bisa berarti jabatan itu ialah pemberian dari Tuhan. Namun, nahasnya, mereka lebih berhasrat memberikan "shock therapy" daripada edukasi yang sesungguhnya.
Polisi mengklaim bahwa keputusan itu didasarkan pada ilmu pengetahuan nan empiris. Mereka juga mengklaim sudah konsultasi dengan ahli bahasa, pidana, serta ahli ITE sebelum memanggil AM.
Namun, sayangnya, kita tidak tahu ahli siapa saja yang dilibatkan pada kasus itu mengingat tidak ada transparansi yang ditunjukkan di ruang publik.
Jika menggunakan beleid pada Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan. Pasal itu seharusnya dipakai sebagai delik aduan absolut yang mekanismenya "harus" dilaporkan langsung oleh korbannya.
Lantas, pertanyaannya, apakah Gibran membuat aduan kepada kepolisian atau tidak. Jika tidak, agaknya mereka sudah salah menerapkan pasal dalam UU ITE.
Kasus itu membuktikan jika keberadaan Virtual Police justru dapat mengancam demokrasi dan menciptakan ketakutan baru di tengah masyarakat ketika ingin melontarkan kritik kepada pemerintah.
Terminologi "pukat harimau" yang saya sematkan pada Polisi Virtual kiranya tak berlebihan sebab mereka bisa menjaring pihak mana saja, mulai dari yang sekelas teri hingga sekelas kakap.
Tak peduli sekecil apapun kesalahannya, asal ada kata dan pasal-pasal yang bisa "digoreng" sebagai pembenaran, jaring! Warga Tegal yang telah terciduk menjadi bukti level 'humor' mereka amat rendah.
Apalagi, warganet yang terciduk adalah rakyat biasa yang tidak memiliki sumber daya finansial dan basis massa layaknya para birokrat, mengkritik "sedikit" saja bisa berbuntut amat panjang. Tidak ada ruang diskusi atau pembelaan baginya.
Aparat sah-sah saja kalau mau berdalih bahwa aksi penjemputan paksa tersebut sebagai 'edukasi' karena memang itulah yang mendasari pendirian Polisi Virtual.
Namun, mereka juga harus tahu bahwa tindakan yang mereka nilai edukasi itu juga dilakukan oleh pemerintah otoriter di negara lain tatkala menerima kritik.
Banyak yang menilai bahwa keberadaan penghargaan semacam itu pada saat UU ITE dan Polisi Virtual belum sepenuhnya tuntas justru bisa memperburuk situasi dan polarisasi konflik pada masayarakat.
Amnesty International Indonesia (AII) menyebut bahwa wacana Polri yang akan memberi "Badge Awards" kepada publik membuat orang semakin takut bersuara.
"Jika pemberian 'Badge Awards' benar-benar dilaksanakan, ini berpotensi membuat warga semakin takut untuk mengungkapkan pendapat terutama jika pendapatnya kritis terhadap seorang pejabat," ungkap Direktur AII, Usman Hamid, (16/3/21).
Terlebih lagi, revisi UU ITE belum masuk di meja prioritas (prolegnas) para wakil rakyat. Adanya lencana itu akan membuat publik terus berada di bawah ancaman pidana selama pasal karet belum direvisi.
Usai mendapat kritik bertubi-tubi dari berbagai elemen masyarakat, alangkah bijaknya apabila pemerintah dan DPR menuntut agar aparatur negara untuk menghindari upaya kontraproduktif.
Wacana pemberian "Badge Awards" juga dapat memicu ketegangan serta konflik sosial. Akan muncul kekhawatiran kasus penangkapan warganet asal Slawi akibat mengkritik sosok birokrat bisa terulang.
Meskipun pemerintah telah berulang kali mengaku ingin melindungi publik, belum terlihat langkah nyata dari negara untuk membuktikan komitmennya tersebut.
Akan lahir banyak kemungkinan aduan akibat unsur ketidaksukaan saja. "Badge Awards" membuat masyarakat semakin terpicu serta berani melaporkan konten yang mereka nilai tidak sejalan dengan spektrum politiknya.
Dalam konteks politik, pemberian Badge Awards dapat memperburuk polarisasi konflik masyarakat dalam media sosial. Seluruh akun media sosial bukan hanya diawasi oleh polisi, melainkan juga oleh sesama warga negara. Tren lopar-lapor akan terus meningkat.
Usai dimbau langsung oleh Presiden Joko Widodo agar Kapolri lebih selektif dalam menerima aduan terkait UU ITE, kenapa mereka justru semakin gencar berperan sebagai 'hakim' yang menentukan fakta dari unggahan masyarakat di medsos?
Hal yang sama juga pernah diutarakan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo agar perkara pencemaran nama baik harus dilaporkan sendiri oleh individu yang merasa jadi korban.
Daripada mengamankan warga negara yang tak berdosa, kenapa Polisi Virtual tidak memfokuskan untuk menangani kejahatan siber yang marak terjadi di media sosial? Taruhlah penipuan online berkedok akun layanan konsumen.
Tinimbang memberikan "Badge Awards" kepada pelapor yang bisa menimbulkan konflik baru, kenapa Polisi Virtual tidak memberikan penghargaan kepada orang-orang yang melaporkan tindak penipuan daring yang jelas-jelas sudah merugikan masyarakat luas?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H