Kekerasan berbau anti-Asia terus meningkat di AS selama pandemi. Warga keturunan Asia sering kali dinilai sebagai biang merebaknya Covid-19 di dunia. Alangkah sulit menyandang identitas Asia di AS.
Kemarin, Rabu (17/3/21), #StopAsianHate mencapai puncaknya setelah dikicaukan lebih dari satu juta cuitan oleh warganet Nusantara di jagat Twitter. Di samping itu, tagar #RacismIsNotComedy pun turut menduduki posisi teratas.
![#StopAsianHate viral di Twitter. | Capture Twitter.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/screenshot-2021-03-17-19-21-04-523-com-brave-browser-01-60523fb7d541df4f8976e8a2.jpg?t=o&v=770)
Angka kekerasan terhadap imigran Asia terus meningkat selama pandemi. Isu itu mencuat lantaran warga keturunan Asia dituding sebagai biang atas merebaknya Covid-19 di seluruh penjuru dunia.
Laporan Departemen Kepolisian New York menyebut bahwa level kekerasan yang menyasar warga keturunan Asia melonjak sebanyak 1.900% sepanjang tahun 2020 lalu.
Banyak yang telah menjadi korban atas buruknya sentimen negatif kepada ras tertentu di sana. Yang terbaru, delapan orang tewas pada insiden penembakan tiga panti pijat di wilayah Atlanta.
Penembakan itu terjadi pada Selasa (16/3) malam waktu setempat. Pelaku pertama kali melakukan "aksi koboi" di panti pijat Young's Asian. Imbasnya, dari lima orang yang tertembak, dua tewas di lokasi, dan dua tewas saat dilarikan ke rumah sakit.
![TKP penembakan warga etnis Asia di AS. | Vice.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/polish-20210318-003345262-60523dfbd541df42b71d7bc2.jpg?t=o&v=770)
Menurut laporan dari Washington Post, penyidik masih terus mendalami temuan di tiga TKP penembakan tersebut untuk mengetahui motif pelaku.
Ironisnya, dalam kasus penembakan itu, enam warga yang meregang nyawa telah teridentifikasi sebagai keturunan Asia.
Meski pihak kepolisian setempat sudah menahan pelaku yang bernama Robert Aaron Long (21), motif penembakan itu hingga kini belum terungkap.
Akan tetapi, lantaran enam dari delapan korbannya adalah warga keturunan Asia, kasus itu kemudian dikaitkan oleh media massa AS dengan kebencian berbasis ras yang marak terjadi.
Ternyata, insiden kekerasan yang terkait dengan warga beretnis Asia juga terjadi di San Fransisco, Oakland, San Jose, hingga New York.
Mayoritas korbannya adalah orang etnis Asia, dari komunitas Korea, Cina, hingga Thailand. Sementara profil para korban rata-rata adalah manula dan perempuan.
Tidak semua kasus melibatkan kekerasan fisik. Ada pula yang berupa hinaan verbal dengan ujaran rasis. Namun, akar isunya sama-sama menuding orang Asia sebagai penyebab pandemi.
Organisasi nirlaba AAPI Hate menyebut, insiden penembakan di Atlanta termasuk dalam tren kekerasan terhadap minoritas Asia yang tengah marak terjadi.
Stop AAPI Hate merupakan sebuah badan advokasi yang menuntut dihentikannya kekerasan bernuansa rasialisme terhadap warga keturunan Asia di AS.
Ia dibentuk sebagai reaksi atas maraknya kebencian, kekerasan, diskriminasi, serta perundungan yang acapkali dialami oleh warga keturunan Asia akibat pandemi.
Serangan Topps terhadap BTS
Di tengah meingkatnya isu dan sentimen negatif terhadap warga keturunan Asia di AS, majalah Topps justru merilis poster terbarunya yang memuat karikatur wajah personil BTS (boyband Korea Selatan).
Melansir MEAWW, poster tersebut telah menuai reaksi negatif dari penggemar berat K-Pop yang menilai, karikatur itu mengandung unsur rasialisme serius.
Dalam poster para personel BTS terlihat tengah berperan menjadi target pukulan dalam permainan Whack-A-Mole atau gim ding-dong memukul tikus tanah.
Ironisnya, tak cukup hingga di situ, para perosnilnya juga digambarkan seakan-akan usai terkena pukulan yang ditandai dengan ruam dan lebam pada wajahnya.
Anehnya, meski merilis karikatur serupa yang memuat para pesohor lain, cuman personil BTS yang dirias layaknya orang "pesakitan". Dan, dari situlah kampanye tagar #StopAsianHate teramplifikasi di jagat media sosial, terutama Twitter.
![Poster BTS yang dirilis oleh Topps yang dinilai rasis dan memantik kecaman di jagat Twitter. | Meaww.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/f313af20-86dd-11eb-90d5-9facb75c66bb-800-420-60523c9ad541df4ce22d4ed2.jpeg?t=o&v=770)
"@Topps, bisakah kalian menjelaskan mengapa kalian mengilustrasikan BTS seperti ini? Ilustrasi artis-artis lainnya tak memuat unsur kekerasan. Mengapa ilustrasi ini disetujui?"Â tulis Ochoa.
Karena ulah Topps, para K-Popers pun akhirnya meradang. Mereka kemudian beramai-ramai mengkampayekan tagar #StopAsianHate & #RacismIsNotComedy sebagai aksi perlawanan.
Mereka serempak menuntut Topps guna mencabut karikaturnya serta mengecam tindak rasisme terhadap warga Asia di AS.
Isu Diperburuk Trump
Isu rasisme di AS bagaikan wabah yang terus berulang. Bahkan, sudah menjadi bagian dalam sejarah berdirinya negara adidaya tersebut.
Sejatinya manuver pemerintah AS yang acapkali menuding Cina sebagai biang merebaknya pandemi Covid-19, malah semakin memperburuk isu rasisme dan kekerasan yang menyasar imigran Asia.
Meski telah dimulai pada tahun 2020, isu anti-Asia semakin memburuk pada 2021. Meningkatnya angka kekerasan terhadap warga Asia diduga mulai naik sejak virus korona masuk ke Negeri Paman Sam.
Saat menjabat, Donald Trump menyebut Covid-19 sebagai "virus Cina". Dia kerap menyalahkan negara yang dipimpin oleh Xi Jinping itu atas merebaknya pandemi.
Hal itu yang kemudian dianggap sebagai justifikasi atas kebencian terhadap warga keturunan Asia (xenofobia) di sana. Sikap yang sama akhirnya diterapkan oleh para pendukung eks presiden AS tersebut.
Trump seolah menjadi bahan bakar bagi isu rasialisme yang lantas menyulut api kemarahan dan dendam makin meluas.
"Ada korelasi yang jelas antara komentar panas Trump, dan keyakinannya ketika menggunakan istilah 'virus Cina' dengan lahirnya kebencian yang menyebar pada media sosial dan kekerasan kepada kita," kata Russel Jeung, co-founder AAPI Hate.
![Poster Mulan pun dirusak di AS. | Larissa Lim BBC.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/18/112373522-etbq2fixsaqpzi6-60524fa28ede485167530282.jpg?t=o&v=770)
Kini, nasi sudah menjadi bubur. Sekeras apapun kita meminta Trump untuk diam serta tidak berkomentar menyangkut isu rasialisme yang menimpa warga beretnis Asia, akan sia-sia. Pasalnya, ia bukanlah pemimpin yang bersedia mendengarkan aspirasi kaum minoritas.
Lantaran semakin runyam, Presiden AS Joe Biden bahkan harus menandatangani "perintah eksekutif" dalam mengakhiri diskriminasi anti-Asia, tak lama setelah menempati kantor presiden pada bulan Januari lalu.
Kini beban berat penghentian kekerasan berbau rasisme berada di pundak Biden. Kedekatannya dengan tokoh-tokoh serta komunitas multi-etnis di AS, termasuk etnis Asia, diharapkan mampu meredam tindakan kekerasan yang mereka alami.
Apalagi, dia juga pernah berjanji bahwa penanganan isu rasisme akan menjadi pilar utama dalam pemerintahannya.
Seluruh sikap dan kebijakan yang akan diambil Biden untuk menyelesaikan isu itu, dapat menjadi cerminan sekaligus teladan bagi seluruh warga negaranya.