Sang pria tampak mapan, yang ditandai oleh setelan jas yang menjadi ciri khas para pekerja kerah putih. Sementara itu, orang lain di sekitarnya yang bertugas melayani adalah pekerja kerah biru.
Ketika ia meninggalkan rumahnya, hal yang sama masih tersaji. Mobil-mobil taksi digantikan oleh tenaga manusia, yang benar-benar menggendong para pelanggannya pada punggung mereka.
Dalam perjalanannya digendong taksi biologis itu, lampu merahnya terlihat sangat absurd, yang mana diperankan oleh dua manusia bergelantungan.
Gedung kantornya sangat tinggi yang sudah dilengkapi pintu geser otamatis dan lift. Ya, lagi-lagi diperankan serta digerakkan oleh mesin-mesin biologis.
Sepanjang film kita tidak akan disuguhi dengan dialog dan musik, hanya suara efek lingkungan (ambience), yang tetap konsisten hingga akhir kisah.
Warna saturasi rendah diadopsi dengan tujuan menciptakan suasana suram nan menyedihkan. Tak ada adegan maupun gerakan yang berlebihan. Irama-irama kesunyian semakin mempertajam ironi yang terkandung di dalam film.
Aroma keterasingan semakin menguar, sebab hubungan antar pekerjanya tidak menunjukkan emosi seperti lazimnya di dalam dunia kerja. Mereka bergerak dan bekerja secara otonom.
Film pendek tersebut akan memberikan pesan sangat kuat mengenai pekerjaan, keterasingan, dan bagaimana peran kita dalam ekosistem peradaban manusia.
Kita mempunyai hasrat mengeksploitasi orang lain, membantu sistem yang tidak adil terus berputar mengikuti porosnya. Peran kita dalam sebuah pekerjaan akan semakin memantapkan posisi penguasa di puncak piramida.
El Empleo adalah manifestasi sempurna yang oleh Plautus disebut dengan istilah Homo homini lupus atau manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.Â
Tak ada yang namanya privilese, setiap orang dalam hierarki peradaban hanya akan mengenal dua macam stratifikasi, yakni majikan dan jongos.