Satu pelanggan, menurut Fahmi, dapat dikerubungi lima hingga delapan akun palsu. Bahkan, ada pula yang mengaku pernah dikeroyok hingga sepuluh akun abal-abal sekaligus.
Dengan metode penipuan semacam itu, Fahmi menyebut, pelaku akan memakai program bot yang otomatis mengawasi, me-reply, dan meminta para pelanggan guna berkomunikasi melalui WhatsApp. Selain itu, mereka juga dapat meminta calon mangsanya untuk menghubungi mereka lewat fitur direct messages (DM).
Akun-akun palsu yang menyaru sebagai layanan konsumen itu akan meyakinkan calon mangsanya bahwa mereka benar-benar akun ofisial perusahaan. Mereka juga menggunakan username yang amat identik dengan akun resmi sehingga bisa dengan mudah mengecoh calon korban.
Target utama mereka adalah data-data pribadi yang bisa membawanya menuju brangkas finansial kita: rekening bank.
Melalui penelusuran singkat, kita bisa menemukan sejumlah akun palsu yang menyaru sebagai akun HaloBCA. Mereka akan menyerobot cuitan dari pelanggan yang bertanya kepada akun resminya.
Kendati kesadaran kita penting agar tak menjadi korban dari penipuan rekayasa sosial, perlu adanya sebuah mekanisme pengawasan. Perusahaan terkait harus meminta tim IT-nya untuk melakukan penelusuran akun-akun palsu di media sosial, lalu melaporkannya agar segara diblokir oleh pihak media sosial.
Selain itu, mereka pun bisa memakai bot di media sosial, terutama Twitter, untuk mendeteksi kicauan pelanggannya yang ditanggapi oleh customer service palsu.
Jadi, saat pelanggan didekati oleh akun layanan pelanggan imitasi, perusahaan terkait bisa cepat mengingatkan bahwa yang menimpalinya bukan akun resmi mereka. Dengan begitu, penipuan yang merugikan pelanggan bisa dicegah.
Di luar hal itu, kiranya tugas polisi siber juga harus lebih dimaksimalkan untuk memberangus akun-akun penipu yang sudah banyak merugikan masyarakat.
Agar terhindar dari penipuan rekayasa sosial yang berkedok layanan pelanggan di media sosial, simak hal-hal berikut.