Sebagaimana yang kita amati bersama, sejatinya tidak ada kepentingan publik pada pernikahan artis atau figur publik.
KPI menyatakan suatu hal yang bersifat personal, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, adalah siaran yang tidak layak ditayangkan oleh stasiun televisi nasional dengan durasi yang bisa bikin manusia waras gumoh, bahkan muntah.
Setiap pemegang izin siar mempunyai kewajiban guna memfilter konten yang disiarkan agar memenuhi unsur-unsur kepentingan publik secara luas.
Hal yang selama ini menjadi diskursus klasik: siapakah yang bisa menentukan arah ideologi sebuah tayangan. Media atau publik?
Sebenarnya media yang justru berperan strategis dalam mendorong tumbuhnya hedonisme dalam masyarakat. Ideologi yang lebih mengutamakan euforia semu.
Mereka boleh berdalih bahwa penyiaran konten itu untuk memenuhi permintaan pasar atau masyarakat. Pasalnya, publik juga menyukai konten tersebut, terlebih lagi jika selebriti terkait adalah idolanya.
Akan tetapi, publik dan pasar adalah dua hal yang berbeda. Pasar lebih bersifat tak natural dan seleranya dapat digiring oleh media. Sementara publik lebih natural di mana hak utamanya saat menonton tivi adalah mendapatkan informasi.
Para remaja yang telah terbiasa menelan sajian glamor selebriti, dapat membawa harapan yang terlalu tinggi perihal pesta pernikahan yang diimpikannya. Harapan itu akan tertambat di dalam alam bawah sadar mereka tanpa disadari.
Mereka akan merasa bahwa kemewahan pernikahan artis menjadi 'standar ideal' bagi dirinya kelak ketika ingin menikah. Sedangkan pesta perkawinan artis bisa menghabiskan hingga miliaran rupiah.
Sementara itu, bagi orangtua, terutama sang ibu, bisa menuntut putri atau calon menantunya dalam menggelar prosesi nikahan yang sama glamornya. Padahal, kita tahu kemampuan finansial sebagian besar warga Nusantara sangat terbatas.