"Jika saya tidak mengatakan itu kepada ayah saya, semua ini tak akan terjadi dan tidak akan menyebar dengan begitu cepat," ucap siswi itu kepada hakim anti-teroris setempat, seperti dilansir RFI.
Hoaks yang ia ciptakan akhirnya memicu ekskalasi besar-besaran dalam berbagai media sosial yang melahirkan kampanye daring untuk mengecam sang guru.
Jaksa penuntut mengatakan tidak lama setelah pembunuhan, ada "hubungan sebab-akibat langsung" antara konten kampanye tersebut terhadap insiden yang menimpa Paty.
Dalam hal ini, beban berat tragedi tidak hanya diarahkan terhadap siswi berusia 13 tahun itu. Perilaku ayahnya pun dinilai sangat berlebihan ketika membuat video yang menimbulkan terjadinya eksklasi kebencian secara sporadis terhadap Paty.
Hoaks bermuatan SARA yang kerap kita jumpai di media sosial rupanya berakibat sangat masif bagi nyawa seseorang dan keutuhan suatu bangsa.
Sirkulasi hoaks menimbulkan efek yang lebih besar di tengah masyarakat karena dapat memprovokasi orang lain untuk menyebarkannya secara luas. Oleh sebab itu, hoaks sudah seharusnya dihindari.
Sebagai negara dengan muslim terbesar, Indonesia seyogyanya menyikapi insiden tersebut dengan sangat serius. Kita harus mengutamakan persatuan dan toleransi terhadap pemeluk agama dan keyakinan lain untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Serangkaian kasus bermuatan SARA di Prancis merupakan pelajaran berharga untuk Indonesia yang dibangun di atas pondasi keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan. Tak kalah penting, kebebasan dalam berekspresi juga tidak boleh dimaknai secara semena-mena.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H