Saya termasuk K-ianer yang sering kali menggunakan istilah asing dalam artikel saya, baik itu pada judul maupun isinya. Terminologi asing itu saya terjemahkan sebagai kebaruan (novelty) karena belum pernah ditulis pada K-iana sebelumnya. Bahkan, belum banyak dibahas juga pada platform berbahasa Indonesia lain.
Tak sedikitpun niat yang terlintas untuk tidak mencintai atau mendiskreditkan bahasa Indonesia melalui istilah asing yang saya selip-selipkan dalam artikel.
Saya menganggapnya sebagai "bumbu penyedap". Lagipula, bahasa yang saya gunakan dalam artikel tetaplah bahasa Indonesia, bukan bahasa asing. Hanya kata-kata tertentu saja yang tidak saya alih-bahasakan, baik karena belum ada padanan katanya maupun untuk tujuan menarik minat pembaca.
Menurut saya, justru dengan eksistensi istilah asing yang sering wara-wiri pada linimasa K-iana, bisa memudahkan ahli bahasa dalam mendeteksi lema bahasa asing, yang sekiranya belum memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia.
Para pegiat bahasa dapat dengan mudah mengamati lema-lema asing populer apa saja yang tengah menjadi perbincangan netizen pada platform seperti K-iana.
"Sextortion", misalnya, yang tersusun atas kata "sex" (seks) dan "extortion" (pemerasan), artinya pemerasan seksual. Agar lebih singkat dan tak "keminggris", mungkin bisa dibikin sebuah istilah baru, taruhlah "sekstorsi". Itu saran saya.
Saya pikir, istilah ghosting yang sampai detik ini masih ramai dibicarakan oleh para warganet dan K-ianer, juga belum memiliki padanan kata. Hal itu terbukti dari artikel Daeng Khrisna yang masih memakai "ghosting" pada judulnya.
Di luar hal itu, saya mendukung penuh pengutamaan penggunan padanan kata dalam bahasa Indonesia.
#Penutup
Selain sebagai orator yang piawai, Bung Karno juga memiliki nasionalisme tinggi. Meski demikian, beliau masih membuka peluang "kompromi" karena beliau sadar bahwa Indonesia masih butuh bantuan dari negara lain dalam banyak hal untuk kepentingan rakyat.
Dalam konteks kebahasaan, saya menilai, lema-lema asing sebagai manifestasi dari "kompromi", tentu tanpa mengorbankan kecintaan kita terhadap bahasa nasional.
Artikel ini bukan bermaksud menggurui siapapun karena saya bukan siapa-siapa di sini. Menggurui seorang ahli bahasa selevel Khrisna Pabichara sama halnya menggarami samudra. Selain percuma, justru saya yang terlihat dungu.