Bahkan, di negara-negara yang dikenal memiliki indeks kebebasan berekspresi yang baik sekalipun, sudah ada laporan pengawasan. Di Inggris Raya, misalnya, polisi di London dilaporkan mengawasi hampir 9.000 aktivis. Banyak di antara mereka yang tidak memiliki rekam jejak kriminal apapun.
Otoritas terkait menggunakan metode pelacakan geolokasi dan juga analisis sentimen pada data yang diambil dari Facebook, Twitter, dan platform lain.
Dinamika serupa juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Sebuah bocoran dokumen mengungkapkan bahwa pada Maret 2019, ada daftar 59 aktivis imigrasi, jurnalis, pengacara, serta admin grup Facebook yang menjadi target pengawasan otoritas AS. Sembilan kasus di antaranya bahkan telah mengarah ke tindak penangkapan.
Maka dari itu, jangan heran jika nantinya akan semakin banyak warga negara yang ditangkap karena memang hal itu sudah terjadi di negara-negara tersebut.
Saat ini, para aktivis dan pihak oposisi akan berpikir dua bahkan tiga kali untuk mengutarakan pendapat politik mereka secara daring demi menghindari tindak penangkapan.
#Netizen +62 Harus Instropeksi Diri
Baru-baru ini Microsoft merilis sebuah hasil survei perihal pengukuran tingkat kesopanan pengguna internet (netizen) di seluruh dunia sepanjang tahun 2020.
Survei bertajuk "Digital Civility Index" itu menunjukkan skor kesopanan daring di Indonesia naik delapan poin, dari 67 pada tahun 2019 menjadi 76 pada 2020.
Dari hasil tersebut, Indonesia bercokol di ranking ke-29 dari 32 negara yang diteliti oleh Microsoft. Artinya, Indonesia sukses menempati posisi paling buncit di tingkat Asia Tenggara. Haruskah kita bangga?
Tak lama berselang, alih-alih introspeksi diri, warganet +62 justru beramai-ramai menyerang akun Instagram Microsoft. Tindakan mereka seolah menjadi wujud justifikasi kalau level kesopanan netizen Indonesia memang benar-benar buruk.
Terlepas dari segala polemik UU ITE dan polisi virtual yang berkembang di dalam masyarakat, menjunjung tinggi etika di medsos adalah kewajiban setiap warga negara. Mereka harus menyadari bahwa hukum yang berlaku secara daring juga berlaku secara luring.
Lantas, dapatkah polisi virtual menjadi solusi atas semua permasalah itu? Atau, malah semakin mengekang kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan tak berpengaruh pada etika netizen +62?