Pemadaman akses internet tengah menjadi tren bagi otoritas negara-negara di dunia sebagai kebijakan untuk melumpuhkan suara rakyat. Ritual pembungkaman suara Ilahi.
Dalam sistem demokrasi, posisi rakyat berada di tingkatan yang sama dengan hukum dan pemerintahan sebagaimana yang tertuang pada konstitusi. Bahkan, adagium kuno yang berbunyi vox populi vox dei juga menempatkan suara rakyat sebanding dengan kehendak Ilahi.Â
Saking masifnya kehendak rakyat, tidak ada kekuatan lain yang secara moral bisa membendungnya. Akan tetapi, apa yang tersisa dari kredo itu sekarang hanyalah fragmen mitos belaka. Beberapa otoritas negara tak lagi memandang suara rakyat layaknya manifestasi atas takdir Tuhan.
Mereka menerapkan taktik pemblokiran akses internet untuk membendung suara rakyat yang dinilai berlawanan terhadap agenda pemerintahan. Padahal, melalui internat lah rakyat bisa mengamplifikasi setiap kehendak dan aspirasi mereka.
Internet merupakan ekosistem di mana informasi bisa bersirkulasi secara bebas, yang menjadi alasan mengapa otoritas negara-negara bernuansa otoriter kerap kali memblokirnya. Bahkan, ritus serupa juga diterapkan oleh negara-negara yang menganut sistem demokrasi sekalipun.
Ritus itulah yang baru-baru ini dilakukan oleh junta militer Myanmar. Pemadaman akses internet berskala nasional terjadi di sana pada Sabtu (6/1/2021).
Kebijakan tersebut berkaitan dengan aksi masyarakat sipil terhadap adanya kudeta militer. Terlebih, ketika itu tengah terjadi aksi demonstrasi pertama kali di Yangon sejak penangkapan Aung San Suu Kyi.
Aksi pembangkangan masyarakat sipil telah berkembang di Myanmar beberapa minggu terakhir. Mereka beramai-ramai mogok kerja, lantas memukul panci dan wajan untuk menunjukkan kemarahan.
Organisasi pemerhati HAM di Myanmar melaporkan adanya penangkapan sekitar 150 warga sipil. Adapun media setempat menyebut, sekitar 30 orang telah ditahan karena keterlibatan dalam aksi tersebut.