Lazimnya, ada tiga alasan utama yang dipakai sebagai justifikasi pemblokiran akses internet dan beragam media sosial oleh otoritas-otoritas negara di dunia.
#1 Keamanan Nasional
Kebijakan pemblokiran akses internet bertujuan untuk "keamanan nasional". Begitu dalih pemerintah ketika tengah melakukan pemblokiran.
Keamanan nasional menjadi justifikasi yang paling sering dipakai pemerintah dalam melancarkan pemblokiran. Meski faktanya, kebijakan itu menciptakan efek yang berlawanan terhadap orang-orang yang terputus dari jaringan komunikasi.
Sejatinya masyarakat tidak akan pernah merasa benar-benar "aman" saat akses internet terputus. Mereka akan khawatir karena tak mengetahui apa yang tengah terjadi dan tidak bisa mengetahui kabar orang-orang yang mereka cintai.
#2 Memerangi Hoaks Saat Pemilu
Pada momen pemilihan umum, biasanya pemerintah akan berdalih "kebijakan itu dilakukan untuk memerangi kecurangan atau menghentikan sirkulasi hoaks".
Padahal, justru sebaliknya. Kebijakan itu justru akan mencegah jurnalis, pemantau Pemilu, dan warga saat ingin melaporkan terjadinya praktik kecurangan. Selain itu, kandidat dari partai oposisi juga tak akan dapat terhubung dengan pendukungnya dalam mendeteksi aktivitas ilegal selama pencoblosan.
Pemblokiran jaringan internet, demikian pula pengendalian arus bebas informasi daring selama masa Pemilu, merupakan ancaman yang sangat serius bagi proses demokrasi dan legitimasi pemerintah.
#3 Pemulihan dalam Aksi Protes
Penerapan kebijakan pemadaman akses internet juga dipilih pemerintah tatkala terjadi demonstrasi. Mereka akan selalu menyebut, kebijakan itu dilakukan demi "pemulihan keamanan dan ketertiban".
Sebetulnya mereka ingin memadamkan perbedaan pendapat dan menghentikan protes yang dinilai berlawanan dengan agenda-agenda negara atau berpotensi "menggoyang" takhta pemerintahan.
Terjadinya kekerasan serta kerusuhan mungkin secara teoritis membenarkan adanya langkah keamanan. Akan tetapi, pemblokiran internet saat masyarakat melakukan demontrasi, tidak akan bisa meningkatkan keamanan.
Hal itu justru menghentikan informasi penting dari jangkauan warga, seperti bagaimana menemukan wilayah aman ataupun menghubungi layanan darurat. Selain itu, kebijakan itu juga mencegah masyarakat untuk mendeteksi adanya pelanggaran HAM tatkala pemerintah melibatkan kekuatan polisi atau militer.