Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Blokir Akses Internet, Cara Negara Bungkam "Suara Tuhan"

20 Februari 2021   02:22 Diperbarui: 20 Februari 2021   02:56 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Massa aksi menuju Yangon, Myanmar, (6/2/2021) untuk menentang kudeta. | (AP photo) via Kompas.com

Pemadaman akses internet tengah menjadi tren bagi otoritas negara-negara di dunia sebagai kebijakan untuk melumpuhkan suara rakyat. Ritual pembungkaman suara Ilahi.

Dalam sistem demokrasi, posisi rakyat berada di tingkatan yang sama dengan hukum dan pemerintahan sebagaimana yang tertuang pada konstitusi. Bahkan, adagium kuno yang berbunyi vox populi vox dei juga menempatkan suara rakyat sebanding dengan kehendak Ilahi. 

Saking masifnya kehendak rakyat, tidak ada kekuatan lain yang secara moral bisa membendungnya. Akan tetapi, apa yang tersisa dari kredo itu sekarang hanyalah fragmen mitos belaka. Beberapa otoritas negara tak lagi memandang suara rakyat layaknya manifestasi atas takdir Tuhan.

Mereka menerapkan taktik pemblokiran akses internet untuk membendung suara rakyat yang dinilai berlawanan terhadap agenda pemerintahan. Padahal, melalui internat lah rakyat bisa mengamplifikasi setiap kehendak dan aspirasi mereka.

Internet merupakan ekosistem di mana informasi bisa bersirkulasi secara bebas, yang menjadi alasan mengapa otoritas negara-negara bernuansa otoriter kerap kali memblokirnya. Bahkan, ritus serupa juga diterapkan oleh negara-negara yang menganut sistem demokrasi sekalipun.

Ritus itulah yang baru-baru ini dilakukan oleh junta militer Myanmar. Pemadaman akses internet berskala nasional terjadi di sana pada Sabtu (6/1/2021).

Kebijakan tersebut berkaitan dengan aksi masyarakat sipil terhadap adanya kudeta militer. Terlebih, ketika itu tengah terjadi aksi demonstrasi pertama kali di Yangon sejak penangkapan Aung San Suu Kyi.

Massa aksi menuju Yangon, Myanmar, (6/2/2021) untuk menentang kudeta. | (AP photo) via Kompas.com
Massa aksi menuju Yangon, Myanmar, (6/2/2021) untuk menentang kudeta. | (AP photo) via Kompas.com
Mereka meneriakkan "Diktator militer gagal! Demokrasi menang!" sepanjang aksi. Beberapa di antaranya membawa spanduk-spanduk bertuliskan "Lawan kediktatoran militer".

Aksi pembangkangan masyarakat sipil telah berkembang di Myanmar beberapa minggu terakhir. Mereka beramai-ramai mogok kerja, lantas memukul panci dan wajan untuk menunjukkan kemarahan.

Organisasi pemerhati HAM di Myanmar melaporkan adanya penangkapan sekitar 150 warga sipil. Adapun media setempat menyebut, sekitar 30 orang telah ditahan karena keterlibatan dalam aksi tersebut.

Gerakan perlawanan masyarakat itu pun masih terjadi hingga sekarang. Mereka melakukan aksi pemblokiran jalan pada Rabu, (17/2/2021). Para pengunjuk rasa beraksi seolah-olah mesin mobil mereka rusak di jalan-jalan utama Kota Yangon.

Perlawanan terhadap pemblokiran akses internet juga diserukan oleh warga sipil. Organisasi masyarakat sipil di Myanmar mengimbau penyedia jasa internet untuk menentang perintah junta militer terkait kebijakan kontroversial tersebut.

Faktanya, kebijakan serupa juga pernah diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Pada 22 Mei 2019, saat terjadi kerusuhan dalam aksi menolak hasil Pilpres 2019, pemerintah membatasi sejumlah fitur dalam media sosial, mulai dari Facebook, Instagram, hingga WhatsApp. Kebijakan berskala nasional itu diklaim merupakan langkah pencegahan sirkulasi hoaks.

Akibat kebijakan tersebut, nyaris semua rutinitas internet masyarakat Tanah Air lumpuh. Demikian juga dengan aktivitas digital ekonomi warga yang bergantung pada beragam situs belanja daring.

Aksi solidaritas menolak pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat yang digelar di Kominfo, (23/8/2019). | Fery Pradolo/Liputan6.com
Aksi solidaritas menolak pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat yang digelar di Kominfo, (23/8/2019). | Fery Pradolo/Liputan6.com
Tak hanya itu. Pemadaman juga kembali dilakukan pemerintah pada Agustus 2019 menyusul pecahnya kerusuhan di distrik Papua dan Papua Barat. Pemadaman itu sendiri dilakukan sejak Rabu, 21 Agustus, dan baru dibuka kembali secara bertahap pada 4 September 2019 lalu.

Saat itu Kemkominfo mengklaim bahwa pemblokiran dipilih demi mempercepat pemulihan keamanan dan ketertiban di Papua. Sementara itu, Presiden Jokowi mengatakan, tujuan utama pemadaman internet adalah untuk kebaikan bersama.

Sontak, ritus kontroversial itu akhirnya mendapatkan kritik dari berbagai pihak, yang kemudian berujung pada gugatan masyarakat ke pengadilan (PTUN).

Organisasi nirlaba pemerhati hak digital global, Access Now, melaporkan bahwa terdapat 213 kasus pemblokiran jaringan internet sepanjang periode 2019 lalu di seluruh dunia. Adapun pemerintah yang menerapkan kebijakan itu berjumlah 33 negara. Angka itu meningkat dari yang semula 25 negara pada tahun 2018 lalu.

Catatan pemadaman internet oleh negara-negara di seluruh dunia. | Capture data dari accessnow.org
Catatan pemadaman internet oleh negara-negara di seluruh dunia. | Capture data dari accessnow.org
Rekor pemadaman akses internet masih dipegang oleh India dengan 121 kejadian. Disusul Venezuela serta Yaman, masing-masing dengan 12 dan 11 kasus. Adapun Indonesia telah mencatatkan tiga kasus.

Pemberontakan warga sipil kini bergerak ke ranah digital. Sejumlah negara tengah berinvestasi pada teknologi digital untuk mencegah sirkulasi beragam informasi palsu dan menekan suara pembangkang.

Negara paham betul bahwa penyebaran informasi di Internet dapat menjadi alat demokrasi yang sangat ampuh. Dengan mematikan internet sepenuhnya, mereka dapat menghambat aktivitas perpolitikan untuk mempertahankan kekuasaan.

Lazimnya, ada tiga alasan utama yang dipakai sebagai justifikasi pemblokiran akses internet dan beragam media sosial oleh otoritas-otoritas negara di dunia.

#1 Keamanan Nasional
Kebijakan pemblokiran akses internet bertujuan untuk "keamanan nasional". Begitu dalih pemerintah ketika tengah melakukan pemblokiran.

Keamanan nasional menjadi justifikasi yang paling sering dipakai pemerintah dalam melancarkan pemblokiran. Meski faktanya, kebijakan itu menciptakan efek yang berlawanan terhadap orang-orang yang terputus dari jaringan komunikasi.

Sejatinya masyarakat tidak akan pernah merasa benar-benar "aman" saat akses internet terputus. Mereka akan khawatir karena tak mengetahui apa yang tengah terjadi dan tidak bisa mengetahui kabar orang-orang yang mereka cintai.

#2 Memerangi Hoaks Saat Pemilu
Pada momen pemilihan umum, biasanya pemerintah akan berdalih "kebijakan itu dilakukan untuk memerangi kecurangan atau menghentikan sirkulasi hoaks".

Padahal, justru sebaliknya. Kebijakan itu justru akan mencegah jurnalis, pemantau Pemilu, dan warga saat ingin melaporkan terjadinya praktik kecurangan. Selain itu, kandidat dari partai oposisi juga tak akan dapat terhubung dengan pendukungnya dalam mendeteksi aktivitas ilegal selama pencoblosan.

Pemblokiran jaringan internet, demikian pula pengendalian arus bebas informasi daring selama masa Pemilu, merupakan ancaman yang sangat serius bagi proses demokrasi dan legitimasi pemerintah.

#3 Pemulihan dalam Aksi Protes
Penerapan kebijakan pemadaman akses internet juga dipilih pemerintah tatkala terjadi demonstrasi. Mereka akan selalu menyebut, kebijakan itu dilakukan demi "pemulihan keamanan dan ketertiban".

Sebetulnya mereka ingin memadamkan perbedaan pendapat dan menghentikan protes yang dinilai berlawanan dengan agenda-agenda negara atau berpotensi "menggoyang" takhta pemerintahan.

Terjadinya kekerasan serta kerusuhan mungkin secara teoritis membenarkan adanya langkah keamanan. Akan tetapi, pemblokiran internet saat masyarakat melakukan demontrasi, tidak akan bisa meningkatkan keamanan.

Hal itu justru menghentikan informasi penting dari jangkauan warga, seperti bagaimana menemukan wilayah aman ataupun menghubungi layanan darurat. Selain itu, kebijakan itu juga mencegah masyarakat untuk mendeteksi adanya pelanggaran HAM tatkala pemerintah melibatkan kekuatan polisi atau militer.

#Pelanggaran HAM atas Akses Internet
Pemblokiran internet dan pengendalian arus bebas informasi daring merupakan pelanggaran serius terhadap HAM dan menjadi ancaman bagi proses demokrasi dalam suatu negara.

Otoritas negara-negara di dunia selalu melandaskan kebijakan tersebut pada undang-undang untuk membenarkan tindakannya itu secara hukum.

Di Indonesia, kebijakan itu merujuk pada Permen Kemenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 soal konten negatif. Menurut aturan itu, pemblokiran internet adalah bentuk penyaringan konten negatif. Pasalnya, UU ITE Pasal 40 tak bisa dijadikan dasar untuk melakukan pemblokiran internet.

Ironisnya, negara kerap menilai adanya kritik terhadap kekuasaan, terutama di medsos, sebagai konten negatif ataupun ujaran kebencian. Padahal, dalam UUD 1945 telah mengatur dengan amat jelas bahwa setiap warga negara berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat.

Majelis HAM PBB, melalui pernyataan resminya pada 4 September 2019 silam, menegaskan bahwa pemblokiran akses internet di Papua bertentangan dengan prinsip HAM dan hukum internasional, khususnya tentang kebebasan bersuara.

PBB mengecam keras pemblokiran akses internet oleh pemerintah (di mana saja). Mereka menganggap bahwa hak manusia yang dilindungi secara luring juga harus dilindungi secara daring.

Oleh karena itu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN RI) memutuskan bahwa pemadaman akses intenet yang terjadi di wilayah Papua serta Papua Barat adalah tindakan melanggar hukum.

Kebijakan semacam itu dapat dikatakan sebagai wujud represi dalam versi digital. Biasanya, pemadaman jaringan internet akan diikuti dengan adanya pelanggaran HAM secara fisik. Terhambatnya sumber informasi warga terhadap kinerja aparat dalam menyikapi suatu aksi massa, bisa memicu tindakan semena-mena.

Ketiadaan internet juga akan membuat wilayah atau negara dalam kesunyian digital. Seluruh aktivitas perekonomian warga negara yang mengandalkan akses internet akan mengalami kelumpuhan. Siapa yang rugi? Lagi-lagi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun