#Pelanggaran HAM atas Akses Internet
Pemblokiran internet dan pengendalian arus bebas informasi daring merupakan pelanggaran serius terhadap HAM dan menjadi ancaman bagi proses demokrasi dalam suatu negara.
Otoritas negara-negara di dunia selalu melandaskan kebijakan tersebut pada undang-undang untuk membenarkan tindakannya itu secara hukum.
Di Indonesia, kebijakan itu merujuk pada Permen Kemenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 soal konten negatif. Menurut aturan itu, pemblokiran internet adalah bentuk penyaringan konten negatif. Pasalnya, UU ITE Pasal 40 tak bisa dijadikan dasar untuk melakukan pemblokiran internet.
Ironisnya, negara kerap menilai adanya kritik terhadap kekuasaan, terutama di medsos, sebagai konten negatif ataupun ujaran kebencian. Padahal, dalam UUD 1945 telah mengatur dengan amat jelas bahwa setiap warga negara berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
Majelis HAM PBB, melalui pernyataan resminya pada 4 September 2019 silam, menegaskan bahwa pemblokiran akses internet di Papua bertentangan dengan prinsip HAM dan hukum internasional, khususnya tentang kebebasan bersuara.
PBB mengecam keras pemblokiran akses internet oleh pemerintah (di mana saja). Mereka menganggap bahwa hak manusia yang dilindungi secara luring juga harus dilindungi secara daring.
Oleh karena itu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN RI) memutuskan bahwa pemadaman akses intenet yang terjadi di wilayah Papua serta Papua Barat adalah tindakan melanggar hukum.
Kebijakan semacam itu dapat dikatakan sebagai wujud represi dalam versi digital. Biasanya, pemadaman jaringan internet akan diikuti dengan adanya pelanggaran HAM secara fisik. Terhambatnya sumber informasi warga terhadap kinerja aparat dalam menyikapi suatu aksi massa, bisa memicu tindakan semena-mena.
Ketiadaan internet juga akan membuat wilayah atau negara dalam kesunyian digital. Seluruh aktivitas perekonomian warga negara yang mengandalkan akses internet akan mengalami kelumpuhan. Siapa yang rugi? Lagi-lagi masyarakat.