Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Berkubang Cantik, Kritik Estetik ala Emak-emak

12 Februari 2021   15:27 Diperbarui: 16 Februari 2021   06:34 2457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain memiliki militansi tinggi, emak-emak juga memiliki cara yang nyentrik, tapi tetap estetik buat melontarkan kritik kepada pemerintah. Apa itu pasal karet?

Begitu banyaknya jalan bergaya abstrak, apalagi saat musim hujan tiba, menjadi pekerjaan rumah yang tak ada hentinya bagi pemerintah daerah maupun pusat. Entah sudah berapa banyak korban yang jatuh akibat jalan yang aduhai rusaknya.

Sebab adanya jalan berlubang, sejatinya pemerintah sedang melatih masyarakat buat berkubang saja, daripada melintas dengan rasa aman, nyaman, dan santuy.

Kerusakan infrastuktur jalan, selain bisa berpotensi membahayakan keselamatan, juga mampu merusak kadar kegantengan dan kecantikan warga plus enam dua, lho.

Bayangkan betapa hancurnya hati kaum Hawa pada saat sudah bersolek on point selama berjam-jam dan bahkan berhari-hari, tapi justru kecipratan air di jalanan yang berlubang atau malah terperosok?

Apakah pemerintah kita selama ini tidak pernah berpikir sejauh itu? Sependek apa sih pikiran para wakil rakyat kita di sana? Apa mereka juga nggak tahu kalau harga skincare makin hari makin mahal? Aduh! Terlebih, skincare tidak ditanggung BPJS.

Terkadang otak saya demen mikirin hal-hal yang terkesan sangat konyol dan tak senonoh. Misalnya, apa jalanan di Negeri Plus Enam Dua butuh skincare biar bisa se-glowing artis drakor dan K-Pop, gitu?

Sebagai seorang netizen garis lucu, apa berlebihan jika saya berharap memiliki fasilitas jalan yang mewah, yang bagus, yang mulus, yang glowing, hah?

Jika tak cepat-cepat diperbaiki, adanya lubang yang menganga bisa bikin warga plus enam dua semakin resah sekaligus gelisah. Terciptanya kubangan juga bisa bikin basah padahal hidup sudah susah.

Mungkin hal itulah yang dirasakan oleh sosok emak-emak asal Lampung. Kontur jalan yang lebih mirip kubangan kerbau, membuatnya menguji batas kreativitas buat melakukan aksi protes yang estetik.

Ummu Hani tidak segan-segan berpose bak model profesional di kubangan dan jalanan yang terlihat seperti bubur ayam yang diaduk di sekitar lingkungannya.

Awalnya, ia merasa gemas karena jalan-jalan area tempat tinggalnya di Tanjung Bintang, Lampung Selatan, mengalami kerusakan yang aduhai parahnya selama bertahun-tahun. Padahal, jalanan itulah yang menjadi akses penghubung utama daerahnya dengan kota-kota terdekat.

Senada dengan Hani, warga lainnya pun kerap protes karena selain merepotkan, jalanan tersebut berkali-kali memakan korban, termasuk dirinya. Akan tetapi, sayangnya, belum ada tindak lanjut dari pemerintah setempat.

Kotor itu baik. Sebuah jargon kuno yang agaknya dipahami dengan sangat brilian oleh Hani. Bisa jadi dari situ ia memanen inspirasi dalam melakukan ritual protes dengan cara yang amat estetik dan tidak kaleng-kaleng, Bund! Atas inspirasi dari Mak Hani pula artikel konyol ini ditulis.

Aksi berkubang menjadi alternatif bagi warga yang mungkin sudah melakukan berbagai macam upaya, tapi belum juga mendapat respon dari pemerintah. Hal itulah yang lantas dilakukan oleh Hani lantaran keluhan warga yang dia wakili saat itu sama sekali tidak digubris.

Meski terlihat kotor, Hani tak terlihat risih, justru bahkan sangat menikmati. Kapan lagi kan bisa jadi model fesyen profesional dan langsung auto-viral?

Cara itu bisa dibilang cukup efektif buat mencuri perhatian publik dan otoritas yang berwenang. Alih-alih melakukan ujaran kebencian atau tindakan anarkis, ritual protes itu tentu jauh lebih elegan.

Hani bukanlah seseorang yang demen marah-marah atau menebar kebencian. Melalui aksi berkubang, tak ada bahasa verbal yang digunakan sehingga dapat mencegah dirinya terlilit kasus hukum.

"Aku lebih memilih pakai cara jargon sindiran begitu karena aku kurang suka sama ujaran kebencian, dan basic aku suka buat video komedi. Alhamdulillah warga support kami," terang Hani.

Protes estetik. | Facebook Ummu Hani via Kompas.com
Protes estetik. | Facebook Ummu Hani via Kompas.com
Selain berpose ala model majalah fesyen seperti rebahan sambil memegang dahi, pose ngucek baju estetik di lumpur yang dilengkapi dengan properti ember pun ia jabanin. Sebuah ritual protes yang begitu totalitas. Kurang syahdu gimana lagi sih?

Adanya kubangan lumpur di jalan juga menjadi opsi ekonomis nan esetetis bagi warga setempat yang ingin merasakan sensasi berendam di dalam jacuzzi ala kaum crazy rich di resor-resor mewah.

Keunikan itu yang ditunjukkan oleh Hani lewat posenya saat memercikkan lumpur sambil tertawa. Berasa lagi berendam di AYANA Resort and Spa Bali saja ya, Bund.

Meskipun bukanlah orang pertama yang melakukan aksi tersebut, ia kini manjadi ikon aksi protes tanpa perlu melibatkan kebencian dan kekerasan. Beberapa saat yang lalu kita juga disuguhi aksi serupa. Hanya saja, tak ada yang bisa semilitan dan seestetik dirinya.

Agar kritik serta aspirasinya sampai di otak pemerintah, Hani pun tidak gentar menandai pasangan Nanang dan Pandu yang menjadi jawara Pilkada Lampung Selatan dalam unggahan estetisnya itu pada akun Facebook-nya baru-baru ini.

Sayangnya, konten estetik itu sudah tak terlihat pada akun Facebook pribadinya. Satu-satunya unggahan Hani yang bisa dilihat, menyebut serial foto jalan rusak itu sudah direspons pemerintah daerah.

Alhamdulillah ya, Bund, sesuatu banget. Ternyata aksi estetiknya sukses mencuri perhatian pemerintah, mencuri hati saya dan netizen +62 juga tentunya. Ya, kan?

Bagi pemimpin yang tidak mempunyai empati dan jiwa besar, protes semacam itu akan dianggapnya sebagai ancaman. Setidaknya hal itu pernah dialami oleh seorang warga asal Lebak, Banten.

Dengan dalih "meresahkan masyarakat", ia dijemput aparat atas konten videonya yang menunjukkan kerusakan jalanan di area tempat tinggalnya. Lebih ironisnya, aparat berdalih, dia hanya "diamankan" dari amukan warga maskipun fakta yang terjadi tidak begitu adanya. Ironis, ya?

Protes estetik. | Facebook Ummu Hani via Kompas.com
Protes estetik. | Facebook Ummu Hani via Kompas.com
Foto satire emak-emak itu bisa dikatakan sangat cerdas. Selain efektif, aksinya juga sekaligus trik untuk berkelit dari UU ITE. Berpose estetik dengan latar jalan hancur kiranya bisa makin menambah khazanah kearifan lokal dalam melakukan protes di Indonesia terhadap kinerja pemerintah.

Hidup ini sudah terlalu tegang, jangan dibikin makin tegang. Begitu pula saat hendak mengkritik pemerintah. Kritik nggak perlu pakai ngegas, Bund. Santai saja. Agar aksi protes bisa didengarkan dan direspons, kreativitas ialah koentji!

Dari Rachel Vennya Ummu Hani, netizen belajar melontarkan kritik tanpa adanya kebencian sekaligus dapat terbebas dari kejamnya jerat pasal-pasal karet UU ITE.

Ummu Hani sudah memberikan contoh bahwa kritik itu tak harus disampaikan dengan caci-maki, memfitnah, marah-marah, ndakik-ndakik, dan ngadi-ngadi.

Gimana sudah siap berkubang di jalanan berlubang di area tempat tinggal Kamu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun