Keunikan itu yang ditunjukkan oleh Hani lewat posenya saat memercikkan lumpur sambil tertawa. Berasa lagi berendam di AYANA Resort and Spa Bali saja ya, Bund.
Meskipun bukanlah orang pertama yang melakukan aksi tersebut, ia kini manjadi ikon aksi protes tanpa perlu melibatkan kebencian dan kekerasan. Beberapa saat yang lalu kita juga disuguhi aksi serupa. Hanya saja, tak ada yang bisa semilitan dan seestetik dirinya.
Agar kritik serta aspirasinya sampai di otak pemerintah, Hani pun tidak gentar menandai pasangan Nanang dan Pandu yang menjadi jawara Pilkada Lampung Selatan dalam unggahan estetisnya itu pada akun Facebook-nya baru-baru ini.
Sayangnya, konten estetik itu sudah tak terlihat pada akun Facebook pribadinya. Satu-satunya unggahan Hani yang bisa dilihat, menyebut serial foto jalan rusak itu sudah direspons pemerintah daerah.
Alhamdulillah ya, Bund, sesuatu banget. Ternyata aksi estetiknya sukses mencuri perhatian pemerintah, mencuri hati saya dan netizen +62 juga tentunya. Ya, kan?
Bagi pemimpin yang tidak mempunyai empati dan jiwa besar, protes semacam itu akan dianggapnya sebagai ancaman. Setidaknya hal itu pernah dialami oleh seorang warga asal Lebak, Banten.
Dengan dalih "meresahkan masyarakat", ia dijemput aparat atas konten videonya yang menunjukkan kerusakan jalanan di area tempat tinggalnya. Lebih ironisnya, aparat berdalih, dia hanya "diamankan" dari amukan warga maskipun fakta yang terjadi tidak begitu adanya. Ironis, ya?
Hidup ini sudah terlalu tegang, jangan dibikin makin tegang. Begitu pula saat hendak mengkritik pemerintah. Kritik nggak perlu pakai ngegas, Bund. Santai saja. Agar aksi protes bisa didengarkan dan direspons, kreativitas ialah koentji!
Dari Rachel Vennya Ummu Hani, netizen belajar melontarkan kritik tanpa adanya kebencian sekaligus dapat terbebas dari kejamnya jerat pasal-pasal karet UU ITE.
Ummu Hani sudah memberikan contoh bahwa kritik itu tak harus disampaikan dengan caci-maki, memfitnah, marah-marah, ndakik-ndakik, dan ngadi-ngadi.