Tagar #LGBT mencatatkan 68 ribu kicauan lebih setelah kasus Kristen Gray mengusik jari-jemari netizen Nusantara. Benarkah Bali ramah terhadap queer seperti klaimnya?
Frasa queer mungkin masih asing bagi netizen Indonesia. Di Amerika Serikat (AS), "queer" dipakai sebagai padanan "not-straight". Frasa tersebut berarti, sebuah hipernim bagi kaum minoritas seksual yang "bukan" heteroseksual, heteronormatif, atau cisgender.
Sebenarnya arti harfiah dari kata queer adalah aneh atau tak biasa. Kemudian, pada akhir abad ke-19, kata itu sering dipakai sebagai hinaan terhadap kaum Adam yang berperilaku feminin.
Namun, semenjak tahun 1990-an di AS, komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) merebut kembali frasa itu, lantas menjadikannya sebagai identitas inklusif bagi orang yang merasa dirinya bukan "straight" atau "lurus".
Dapat dikatakan queer adalah kondisi dalam proses pencarian, tetapi sudah cukup meyakini bahwa mereka bukan termasuk ke dalam golongan eksklusif heteroseksual atau cisgender.Â
Queer ialah orientasi seksual yang lebih fleksibel. Mereka tertarik kepada orang lain tanpa melihat jenis kelamin ataupun gendernya. Singkatnya, queer merupakan orang-orang yang menolak penyematan label menurut orientasi seksual mereka.
Lazimnya, kaum LGBT memakai queer untuk menghindari ujaran kebencian dari kalangan homofobik. Pasalnya, istilah itu belum banyak dikenal oleh masyarakat, khusunya warganet Indonesia.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa orang dengan orientasi seksual yang "berbeda" benar-benar ada di sekitar kita. Awalnya, mereka cenderung sembunyi-sembunyi, kini mereka tidak lagi malu menyatakan status orientasi mereka di depan publik.
Sosok warga negara asing yang sedang viral baru-baru ini mungkin bisa menjadi salah satu contohnya. Ia tampak bangga menyebut dirinya sebagai seorang queer, yang merujuk terhadap orientasi seksual sesama jenis (lesbian).
Dalam akunnya, Kristen Grey mengaku sebagai warga negara Amerika Serikat yang sudah tinggal di Bali selama satu tahun terakhir bersama pacarnya yang juga seorang wanita.
Gray menjadi sorotan karena lewat akun twitter pribadinya (@kristentootie), ia mengampanyekan Bali sebagai destinasi yang akomodatif, salah satunya sangat ramah terhadap kaum LGBT.
Benarkah Bali merupakan tempat yang ramah terhadap komunitas LGBT?
Melalui penulusuran singkat memakai Google, dapat ditemukan ratusan ribu, bahkan jutaan hasil, kala mengetikkan kata kunci bali gay friendly destination yang menunjukkan berbagai destinasi wisata populer bagi kaum LGBT di Bali.
Hasil penelusuran Google tersebut dapat mengindikasikan bahwa Bali merupakan destinasi yang memang ramah terhadap wisatawan LGBT. Namun, hal itu kiranya belum cukup meyakinkan jika kita tidak mengidentifikasinya.
Sebuah agen perjalanan yang berkantor di Inggris, Out of Office, menawarkan Seminyak sebagai salah satu destinasi wisata yang ramah bagi kaum LGBT di daftar layanan mereka. Keramahan yang dimaksud meliputi berbagai amenitas di area wisata, mulai dari tempat hiburan, penginapan, hingga tempat makan.
Sebagaimana yang tercantum di situs web mereka, Out of Office memang mengkhususkan layanan mereka bagi kaum LGBT seperti kegiatan wisata, safari, hingga pernikahan sesama jenis.
Di Bali selatan dan Ubud, pasangan LGBT memiliki sedikit kekhawatiran karena orang Bali bersahaja. Jika tidak, masih ada hiburan malam yang ramah LGBT di wilayah Seminyak, dan tidak ada bagian Bali yang harus dihindari oleh mereka.
Kampanye Lonely Planet bisa menjadi legetimasi bahwa Bali memang benar-benar surganya kaum LGBT dari seluruh penjuru dunia. Namun, jika hal tersebut belum mampu mengubah persepsi kita, mungkin pengakuan dari seorang warga Bali berikut bisa membantu.
Kepada Merdeka.com seorang supir taksi bernama Wayan menuturkan kesaksian pada tahun 2016 lalu. Ingatannya tertuju pada tamu yang pernah ia antar. Lewat kaca spion, ia menyaksikan langsung dua penumpangnya sedang bercumbu.
Kedua insan yang tengah dimabuk cinta itu ialah seorang pria WNI dan WNA asal Prancis. Tanpa ada sedikitpun rasa malu, kedua pria itu mengumbar kemesraan. Ia hanya terdiam menyaksikan mereka.
Ternyata, bukan sekali dua kali saja ia mengantar penumpang yang memiliki orientasi seksual sesama jenis. Saking banyaknya, Wayan bahkan tak mampu mengingatnya.
Sebagaimana penuturan Wayan, di area Seminyak, terdapat jajaran klub dan bar yang menjadi tujuan favorit mereka.
Bagi masyarakat Bali, area itu memang terkenal sebagai tempat berkumpulnya kaum LGBT. Setidaknya terdapat empat tujuan hiburan yang dikhususkan untuk memanjakan mereka. Tak jauh dari sana, ada pantai Doublesix yang juga dikenal sebagai tempat nongkrong kaum LGBT.
Pemilihan Bali sebagai area berkumpul komunitas tersebut bukan tanpa sebab. Masyarakat Bali tak pernah melakukan diskriminasi kepada mereka. Selain itu, sebagian besar penduduk Bali juga tak mengenal Homofobia.
Mereka tak pernah mempermasalahkan eksistensi dan aktivitas kaum LGBT di sana. Mereka sangat menjunjung tinggi kebebasan dan toleransi selama tidak merusak norma dan hukum adat.
"Gay dibiarkan yang penting tidak keluarga mereka (warga Bali) yang diusik," kata tokoh adat Bali, I Gusti Agung Ngurah Harta (Merdeka.com).
Tidak adanya penolakan masyarakat Bali terhadap kehadiran komunitas LGBT juga didasarkan pada fakta bahwa Bali adalah pusat akulturasi bermacam budaya dan suku bangsa. Di samping itu, mereka juga diuntungkan oleh kehadiran wisatawan mancanegara yang akan mendongkrak pendapatan warga dari sektor pariwisata.
Kaum LGBT mempunyai kebutuhan gaya hidup dengan melakukan perjananan ke beragam destinasi sebagai budaya yang wajib dipraktikkan sekaligus merupakan bentuk eksistensi kelompoknya. Mereka bisa menjadi ceruk pasar yang potensial dan masif bagi sektor pariwisata.
Industri pariwisata di Bali, menawarkan keramahan, pelayanan prima, dan tidak memandang orientasi seksual pelanggan mereka, tidak terkecuali kaum LGBT.
Di balik seluruh keindahannya, pulau Bali rupanya juga menebarkan daya tarik bagi orang-orang yang mempunyai orientasi seksual "berbeda" untuk berkunjung dan mengekspresikan hasratnya di sana.
Meski demikian, kehadiran kaum LGBT di Nusantara masih merupakan hal yang tabu dan kontroversial. Adalah hal yang lumrah tentu saja, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.
Meski kerap ditentang oleh para pemuka dan tokoh agama, faktanya, pemerintah tidak mempunyai aturan yang melarang eksistensi dan aktivitas kelompok LGBT. Artinya, Indonesia (mungkin) tidak atau belum menerima mereka, tapi juga tidak melarang.
Oleh sebab itu, apabila ditinjau dari segi hukum, selama mereka tidak melakukan tindakan kriminal, maka kita tidak dapat berbuat banyak atas semua aktivitas yang mereka lakukan--meskipun bertentangan dengan orientasi umum masyarakat.
Sebagian besar warga negara Indonesia mungkin tak setuju dengan pendangan Gray atas ujarannya yang menyebut Bali sangat ramah terhadap komunitas LGBT. Namun, dari riset media di atas, agaknya kita perlu mengubah pandangan bahwa Gray memang benar-benar mengatakan fakta yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H