Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Survival of the Laziest", Bertahan Hidup dengan Menjadi Pemalas

10 Januari 2021   09:08 Diperbarui: 10 Januari 2021   14:08 2224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Neanderthal yang tinggal di dalam goa. | Credit: Shutterstock/Gorodonkoff Dailymail.co.uk

Rasa malas sering kali dikaitkan dengan hal negatif. Akan tetapi, dengan menjadi pemalas, dapat membantu manusia untuk tetap bertahan hidup di kala pandemi.

Banyak orang yang salah mengira bahwa "Survival of the Fittest" merupakan teori yang berkaitan dengan organisme paling kuat yang akan berhasil bertahan hidup.

Konsep tersebut melahirkan anggapan yang tidak sepenuhnya bisa dibenarkan mengenai mekanisme bertahan hidup. Misalnya, buaya yang memangsa rusa melalui kisah perburuan yang teramat dramatis. Oleh karena buaya lebih kuat dalam sistem rantai makanan tersebut, maka dialah yang bisa bertahan hidup.

Kata "fittest" dalam hal ini tidak selalu berkorelasi dengan individu atau spesies terkuat. Jadi, bukan makhluk paling kuat yang selalu mampu bertahan hidup.

Ilustrasi pemalas. | Nytimes.com
Ilustrasi pemalas. | Nytimes.com
Esensi dari Survival of the Fittest adalah organisme yang paling "cocok" dengan ekosistemnya lah yang akan lolos dalam seleksi alam. Bukan yang terkuat. Akan tetapi, yang paling mampu beradaptasi.

Bahkan, spesies paling malas dan lamban sekalipun dapat menjadi penyintas paling sukses di alam. Hasil penelitian teranyar menemukan bahwa semakin rendah level metabolisme suatu organisme, semakin besar pula peluang mereka mampu lolos dalam seleksi alam. Hal itu terlihat dalam proses evolusi hewan dari filum mollusca seperti siput, keong, dan gurita.

Selama jutaan tahun hewan ras mollusca menjadikan rasa malas dan kelambanan sebagai sebuah mekanisme dan strategi dalam melestarikan spesiesnya.

"Alih-alih Survival of the Fittest, mungkin terminologi yang lebih baik untuk sejarah kehidupan adalah 'Survival of the laziest' atau setidaknya 'survival of the lambly'." ujar Bruce Lieberman, profesor ekologi dan biologi evolusi Universitas Kansas, seperti dikutip dari The Washington Post.

Ilustrasi sosok Neanderthal. | Ancient-origins.net
Ilustrasi sosok Neanderthal. | Ancient-origins.net
Tidak hanya hewan, manusia purba juga pernah memanfaatkan "insting malas" dengan melakukan hibernasi. Asumsi itu dilandaskan pada penemuan fosil oleh para arkeolog dalam sebuah gua di Sima de los Huesos, Atapuerca, Spanyol Utara.

Menurut laporan Express (23/12/2020), Neanderthal pernah menghadapi suhu dingin yang ekstrem pada 400 ribu tahun silam, dengan rebahan dalam waktu yang sangat panjang selama musim dingin.

Bukti kunci yang ditemukan ialah adanya tanda-tanda kerusakan seperti luka pada tulang manusia purba, yang mana sangat mirip dengan kerusakan yang ditemukan pada tulang hewan yang berhibernasi.

Hasil penemuan itu melahirkan sebuah teori bahwa sosok Neanderthal bertahan pada suhu ekstrem yang berkepanjangan lewat cara menekan dan memperlambat level metabolisme tubuh mereka secara signifikan. Mereka dapat rebahan tanpa gangguan selama berbulan-bulan.

Pada suhu ekstrem, hibernasi merupakan bentuk mekanisme bertahan hidup sebab Neanderthal akan menghabiskan waktu berbulan-bulan lamanya dalam goa-goa batu dengan kondisi yang tak bersahabat.

Di luar konsep tersebut, penyesuaian diri akan selalu dipraktikkan setiap makhluk hidup dalam merespons suatu keadaan. Manusia merupakan entitas berakal yang memiliki level adaptasi yang lebih tinggi daripada organisme lain. Hal itulah yang menjadikan Homo sapiens sebagai spesies paling unggul yang bisa bertahan hidup hingga detik ini.

Saking banyaknya, sudah tidak terhitung berapa juta kali peradaban umat manusia diguncang oleh berbagai macam bencana serta tragedi kemanusiaan, salah satunya pandemi. Faktanya, kita selalu mampu melewatinya dan terus bertahan hidup.

Naluri adaptasi pula yang kini membuat SARS-CoV-2 yang menjadi biang Covid-19, mengalami ribuan mutasi. Pada saat bermutasi, virus juga akan melakukan sejumlah penyesuaian dengan mengubah materi genetiknya.

Peristiwa mutasi tersebut terjadi seiring dengan perkembangan dan penyebaran Covid-19 yang telah menjangkiti sekitar 213 negara di seantero dunia. Bahkan, virus sekalipun ingin tetap bertahan hidup dan melestarikan spesiesnya.

Pandemi coronavirus disease yang sudah berlangsung hampir setahun di Indonesia memang membuat kita tidak nyaman dan memaksa kita untuk mengaktifkan naluri adaptasi dalam aktivitas sehari-hari.

Seluruh program yang digalakkan oleh pemerintah pada dasarnya merupakan strategi bertahan hidup. Semua langkah penyembuhan serta pemulihan dalam sektor kesehatan dan ekonomi yang telah menyita anggaran negara senilai Rp800 triliun akan sia-sia di hadapan manusia bebal yang "terlalu rajin" keluar rumah tanpa memedulikan protokol Covid-19.

Diberlakukannya pembatasan sosial dan fisik, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan lockdown telah memaksa kita untuk melakukan sejumlah adaptasi yang berpengaruh terhadap kehidupan kita.

Selain naluri adaptasi, Homo sapiens juga mempunyai naluri untuk melawan setiap ketidaknyamanan dan merebut kembali kebebasan yang telah direnggut darinya. Pada dasarnya, manusia tak pernah ingin dibatasi, apapun bentuknya.

Maraknya perlawanan dan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh spesies kita di luar sana, mungkin saja berakar dari dicabutnya zona nyaman dan belum seimbangnya laku adaptasi.

Perlu dicatat, mekanisme bertahan hidup tidak selamanya berhubungan dengan sifat rajin sebagaimana penuturan para ilmuwan dari hasil sejumlah penelitian dan bukti-bukti yang mereka temukan.

Semua teori yang berkaitan dengan rasa malas dan kelambanan yang dicetuskan oleh ilmuwan menjadi sangat relevan jika diterapkan dalam situasi pandemi yang tidak kunjung usai seperti sekarang ini.

Meskipun selalu dikaitkan dengan hal-hal negatif, sebetulnya, rasa malas juga memberikan keuntungan bagi kita. Telah banyak penemuan-penemuan penting dalam sejarah peradaban umat manusia yang berawal dari rasa malas. 

Misalnya, penemuan kendaraan bermotor untuk mengakomodasi 'hasrat malas' manusia dalam berjalan kaki. Atau, telepon yang ditemukan oleh karena rasa malas untuk berjalan dan menyapa tetangga.

Atas jasa rasa malas yang tinggi hingga detik ini saya masih mampu bertahan hidup. Mungkin hal itu terkesan sangat absurd, tetapi begitulah faktanya.

Bagi pemalas seperti saya, perjalanan ke warung kopi merupakan pekerjaan yang cukup berat, terlebih di tengah pandemi. Berawal dari alasan konyol itu akhirnya saya mengurungkan hasrat untuk keluar rumah, lantas memilih untuk menyeduh kopi sendiri.

Akibat rasa malas pula yang membuat saya urung nongkrong dengan teman-teman di luar dan lebih memilih untuk memaksimalkan berbagai media sosial guna tetap terhubung dengan mereka. Usai kerja pun langsung pulang ke goa.

Kemalasan saya bahkan dapat meredam rasa cemas serta khawatir terpapar virus. Pasalnya, seorang pemalas akan selalu memiliki cara guna "menyederhanakan" setiap masalah yang dihadapi.

Ilustrasi pemalas. | Japantrends.com
Ilustrasi pemalas. | Japantrends.com
Makhluk pemalas semacam diri saya ini memiliki kecendrungan untuk menolak sesuatu hal yang terlalu membebani otak.

Sebagai organisme yang memang malas untuk keluar rumah, pemberlakuan PSBB atau lockdown tidak akan pernah menjadi masalah serius. Kebijakan itu tidak akan mampu membuat mereka tersiksa atau merana sekalipun hanya menghabiskan waktu untuk rebahan saja di rumah.

Akibat rasa malas yang terlalu tinggi dan keinginan berlebih untuk rebahan pula, saya dapat memproduksi lebih dari 100 artikel bagi Kompasiana sejak pandemi Covid-19 melanda, bahkan sampai detik ini. Mendapatkan label "Artikel Utama", bagi saya, sudah cukup untuk mengurai stres sebagai susbtitusi liburan.

Dan, lagi-lagi, atas jasa kemalasan yang membabi-buta pula, saya tidak berisiko menularkan penyakit atau menjadi agen penyebaran virus korona pada ekosistem yang saya tinggali selama ini.

Menjadi pemalas merupakan mekanisme "sederhana" saya untuk tetap bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19.

Rasa malas saya tidak merugikan orang lain. Pun tidak membebani negara. Justru beberapa dari mereka yang kini tengah terbaring lemah dalam ruang perawatan dengan ventilator menempel di hidung adalah manusia yang terlampau "rajin" dalam menjalani kehidupan.

Mereka yang enggan mematuhi protokol kesehatan yang kini tengah membebani anggaran dan peradaban. Kemampuan mereka dalam beradaptasi bahkan tidak lebih baik dibanding spesies Neanderthal.

Justru organisme yang terlampau "rajin" untuk keluar rumah meski aktivitas yang dilakukan tak terlalu penting, yang kini menjadi ancaman paling berbahaya bagi peradaban umat manusia.

Biarkan rasa malas itu bersatu dengan jiwa dan ragamu untuk kali ini saja atau setidaknya selama pandemi virus korona masih melanda. Bersikaplah seolah-olah dirimu spesies Neanderthal yang sedang berhibernasi di dalam goa-goa batu.

Ilustrasi Neanderthal yang tinggal di dalam goa. | Credit: Shutterstock/Gorodonkoff Dailymail.co.uk
Ilustrasi Neanderthal yang tinggal di dalam goa. | Credit: Shutterstock/Gorodonkoff Dailymail.co.uk
Cukup diam dan rebahan saja di rumah! Kamu tidak perlu cemas karena rebahan tidak akan membuat wujudmu berubah menjadi sosok Neanderthal sungguhan, apalagi sebangsa keong-keongan.

Sebagai seorang pemalas, saya bangga! Kalau memang dirimu itu tidak sanggup melakukan apa-apa untuk membantu meredam pandemi Covid-19, setidaknya jadilah pemalas mulai saat ini juga!

Ya, jadilah pemalas detik ini juga!

Catatan: artikel ini tidak berlaku untuk mereka yang berada di garda depan dan mereka yang terpaksa harus berjibaku di jalanan untuk bertahan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun