Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

"Numpang Lapak", Ritual Dagang Unik ala Anak Twitter

5 Januari 2021   12:50 Diperbarui: 8 Maret 2022   13:14 1884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar dari akun Twitter pelapak netizen +62 yang menumpang di akun @kegblgnunfaedh. | Dokpri

Apalagi, netizen +62 memiliki kebiasaan yang terlampau unik. Terkadang mereka malahan lebih tertarik dengan komentar dari netizen lain daripada thread utama itu sendiri. Terlebih, media mainstream saat ini juga tidak segan memberitakan ujaran warganet Tanah Air yang dinilai kocak dan sukses menyita perhatian.

Kita bisa melihat fenomena unik tersebut dari netizen +62 yang menggelar lapak di kolom komentar akun Twitter Presiden AS, Donald Trump (@realDonaldTrump), belum lama ini. Mengetahui kicauan itu akan viral, mereka justru memanfaatkan momen itu untuk menjual dagangannya.

“Om Trump, ane jualan kolor. Mayan buat rebahan di rumah. Happy shopping ya kak.” ujar akun Twitter @AbdlJbrl.

Tangkapan layar dari akun Twitter pelapak netizen +62 yang menumpang di akun Donald Trump. | Dokpri
Tangkapan layar dari akun Twitter pelapak netizen +62 yang menumpang di akun Donald Trump. | Dokpri
Tidak diketahui sejak kapan ritual dagang itu mulai populer di Twitter. Bisa jadi tren itu mengemuka sejak Twitter menambah batas kicauan, yang semula 140 jadi 280 karakter pada 2017 lalu. Pasalnya, dengan jumlah karakter pendek akan cukup sulit bagi para pelapak guna memperkenalkan produk dagangan mereka.

Mungkin trik pemasaran itu terinspirasi dari iklan-iklan berbau spam yang kerap tampak di kolom komentar pada berbagai platform blog maupun streaming video. 

Namun, ada perbedaan cukup signifikan antara keduanya. Lazimnya, iklan spam di blog dikirim secara acak. Mereka tidak memilih target pasar tertentu. Berbeda halnya dengan lapak ala anak Twitter yang selektif dalam memilih "mangsa".

Para pelapak ala Twitter lazimnya akan menyematkan cuitan yang berisi produk barang atau jasa pada kolom komentar sebuah tweet dan akun yang tengah viral. Parameter viralnya cuitan dapat dengan mudah dideteksi dari jumlah komentar, like, dan retweet yang diperoleh.

Semakin banyak jumlah komentar, like, dan retweet pada sebuah tweet, biasanya akan diikuti pula dengan meningkatnya jumlah lapak yang numpang eksis dalam kolom komentar unggahan tersebut.

Mereka tengah mempopulerkan konsep "one stop shopping" dalam jagat Twitter karena produk dagangan mereka sangat beragam, mulai dari makanan, pakaian, aksesoris, paket produk digital, perkakas elektronik, hingga bermacam jasa.

Tangkapan layar dari akun Twitter pelapak netizen +62 yang menumpang di akun @kegblgnunfaedh. | Dokpri
Tangkapan layar dari akun Twitter pelapak netizen +62 yang menumpang di akun @kegblgnunfaedh. | Dokpri
Fenomena itu mampu melahirkan sebuah simbiosis mutualime. Pemilik akun inang akan memperoleh sejumlah manfaat dari peningkatan jumlah komentar, like, dan retweet, yang pada akhirnya akan diikuti pula dengan kenaikan 'engagement rate' oleh aktivitas berdagang para pelapak.

Bagi figur publik, engagement rate ialah salah satu parameter endorsement oleh pengiklan. Semakin besar engagement, akan semakin besar pula fee jasa iklan yang diperoleh pemilik akun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun