Apalagi, netizen +62 memiliki kebiasaan yang terlampau unik. Terkadang mereka malahan lebih tertarik dengan komentar dari netizen lain daripada thread utama itu sendiri. Terlebih, media mainstream saat ini juga tidak segan memberitakan ujaran warganet Tanah Air yang dinilai kocak dan sukses menyita perhatian.
Kita bisa melihat fenomena unik tersebut dari netizen +62 yang menggelar lapak di kolom komentar akun Twitter Presiden AS, Donald Trump (@realDonaldTrump), belum lama ini. Mengetahui kicauan itu akan viral, mereka justru memanfaatkan momen itu untuk menjual dagangannya.
“Om Trump, ane jualan kolor. Mayan buat rebahan di rumah. Happy shopping ya kak.” ujar akun Twitter @AbdlJbrl.
Mungkin trik pemasaran itu terinspirasi dari iklan-iklan berbau spam yang kerap tampak di kolom komentar pada berbagai platform blog maupun streaming video.
Namun, ada perbedaan cukup signifikan antara keduanya. Lazimnya, iklan spam di blog dikirim secara acak. Mereka tidak memilih target pasar tertentu. Berbeda halnya dengan lapak ala anak Twitter yang selektif dalam memilih "mangsa".
Para pelapak ala Twitter lazimnya akan menyematkan cuitan yang berisi produk barang atau jasa pada kolom komentar sebuah tweet dan akun yang tengah viral. Parameter viralnya cuitan dapat dengan mudah dideteksi dari jumlah komentar, like, dan retweet yang diperoleh.
Semakin banyak jumlah komentar, like, dan retweet pada sebuah tweet, biasanya akan diikuti pula dengan meningkatnya jumlah lapak yang numpang eksis dalam kolom komentar unggahan tersebut.
Mereka tengah mempopulerkan konsep "one stop shopping" dalam jagat Twitter karena produk dagangan mereka sangat beragam, mulai dari makanan, pakaian, aksesoris, paket produk digital, perkakas elektronik, hingga bermacam jasa.
Bagi figur publik, engagement rate ialah salah satu parameter endorsement oleh pengiklan. Semakin besar engagement, akan semakin besar pula fee jasa iklan yang diperoleh pemilik akun.