Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

"Kneeling Protest", Ritus Perang Semesta Melawan Rasisme

14 Desember 2020   09:14 Diperbarui: 14 Desember 2020   14:06 2506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Martin Luther King (depan) berlutut bersama massa demonstrasi yang ia pimpin di Selma, Alabama, pada 1 Februari 1965. | BH-AP Photo via Time.com

Kneeling protest menjadi simbol global untuk memerangi rasisme atas tindakan semena-mena dan tak adil kepada orang kulit hitam.

Di tengah musim panas yang terik, pada 28 Agustus 1963, sekitar 250 ribu orang melakukan longmarch sejauh 1,6 km dari Washington Monument menuju Lincoln Memorial, Washington DC.

“Saya bermimpi di mana pada suatu hari nanti keempat anak saya akan tinggal di sebuah negara yang tidak menilai seseorang menurut warna kulitnya, tetapi menurut karakter.”

Demikian kutipan isi pidato fenomenal berjudul "I have a dream" yang menjadi salah satu khotbah paling berpengaruh dalam sejarah Amerika Serikat (AS).

Dengan suara lantangnya, Martin Luther King Jr. menyulut massa yang berkumpul di depan kaki patung Abraham Lincoln. Di monumen itu pula pada tahun 1862 silam Proklamasi Emansipasi mengakhiri era perbudakan selama Perang Sipil.

Dalam orasinya, ia mengangkat beragam isu mulai dari pengangguran, masalah rasial, hingga keadilan sosial. King juga menuntut hak-hak sipil, kesetaraan, dan pencabutan aturan-aturan yang dinilai melanggengkan segregasi menurut ras.

Pierre-Emerick Aubameyang berlutut bersama Kevin De Bruyne dan wasit Anthony Taylor di laga Premier League. | (AFP) via tribuneindia.com
Pierre-Emerick Aubameyang berlutut bersama Kevin De Bruyne dan wasit Anthony Taylor di laga Premier League. | (AFP) via tribuneindia.com
Aksi civil rights movement itu akhirnya mampu mendesak disahkannya regulasi revolusioner, yakni Undang-Undang Hak Sipil (1964) yang mengakui kesetaraan warga negara tanpa memandang latar belakang ras, warna kulit, dan agama.

Orasi King di Lincoln Memorial menjadi momentum paling krusial dalam langkah perjuangan warga kulit hitam. Gerakan itu berlangsung damai, tanpa kekerasan dan sukses memenangkan hati rakyat AS.

Akan tetapi, kondisi warga Afro-Amerika tidak banyak mengalami perubahan usai AS berproses selama satu abad semenjak Perang Sipil berakhir.

Hingga kini doktrin rasial tak ubahnya benang kusut. Warga Negeri Paman Sam belum benar-benar bebas dari rasisme. Masyarakat Afro-Amerika masih rentan dikriminalisasi. Diskriminasi pun masih saja terjadi. Bentrokan atas nama warna kulit terus meletus di negeri tersebut.

Lantas pada 2013 para aktivis kulit hitam menginisiasi gerakan Black Lives Matter (BLM) sebagai simbol perlawanan atas kekerasan aparat pada warga kulit hitam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun