Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

"Kneeling Protest", Ritus Perang Semesta Melawan Rasisme

14 Desember 2020   09:14 Diperbarui: 14 Desember 2020   14:06 2506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Martin Luther King (depan) berlutut bersama massa demonstrasi yang ia pimpin di Selma, Alabama, pada 1 Februari 1965. | BH-AP Photo via Time.com

Gestur simbolis itu merupakan cara yang paling mujarab untuk melawan perilaku represif aparat. Sebuah aksi damai yang menjadi antitesis dari tindak anarkisme sehingga bentrokan dapat diminimalisir.

Kneeling Protest dalam Sepak Bola
Usai Kaepernick mempopulerkan kneeling protest, aksi yang sama juga diperagakan pesepak bola wanita AS, Megan Rapinoe, sebagai wujud solidaritas.

Tak berselang lama, aksi solidaritas itu manyebar hingga daratan Inggris. Usai kompetisi digelar kembali, para pemain Manchester City dan Arsenal mengikuti langkah Aston Villa dan Sheffield United yang berlutut di lapangan sebagai wujud dukungan terhadap gerakan BLM.

Ketika itu video tribut untuk BLM juga ditayangkan sebelum lantas kedua tim melakukan gestur berlutut. Tak hanya itu, kampanye antirasisme juga tampak di area punggung kaus setiap pemain yang bertuliskan "Black Lives Matter".

Aksi solidaritas itu sejatinya tidak hanya berlaku bagi masyarakat kulit hitam AS, mengingat para pelaku sepak bola juga sangat rentan terpapar kasus rasis yang sama. Entah sudah berapa ratus pemain maupun ofisial tim yang menjadi korban rasisme di atas lapangan hijau.

Hingga yang paling baru, hinaan bernada rasis juga dialami asisten pelatih Istanbul Basaksehir, Pierre Webo, pada laga Grup H Liga Champions 2020 melawan PSG.

Bertindak sebagai wasit ofisial keempat, Sebastian Coltescu kala itu dinilai telah melontarkan kata "Negri" (kulit hitam) kepada Webo. Akibat peristiwa itu, laga terhenti di menit ke-15 dan dilanjutkan sehari setelahnya.

Webo yang 'terbakar' dan naik pitam lalu dikartumerah hingga akhirnya membuat laga memanas. Amarah itupun menjalar ke pemain Istanbul seperti yang tampak pada Demba Ba kala ia mengonfrontasi Coltescu.

UEFA kemudian berencana melakukan investigasi atas tudingan rasis tersebut. Sementara itu Webo mendapat banyak dukungan dari publik sepak bola.

Para pemain PSG dan Istanbul Basaksehir berlutut di Parc des Princes Stadium (9/12/20) | (AP Photo) via dailysabah.com
Para pemain PSG dan Istanbul Basaksehir berlutut di Parc des Princes Stadium (9/12/20) | (AP Photo) via dailysabah.com
Sebagai bentuk dukungan kepada Webo, sebelum pluit kickoff pertandingan yang sempat tertunda, kedua klub sekaligus wasit dan ofisialnya berlutut di Parc des Princes Stadium Paris (9/12/2020).

FIFA sebagai induk otoritas sepak bola menyadari tindakan rasisme masih saja menodai kesucian the Beautiful Game.

Sportivitas dan fair play tercoreng akibat perilaku rasis yang acapkali menghantui para pelaku sepak bola. Kampanye Say No To Racism, Anti-Racism, dan juga Respect selalu digemakan oleh penyelenggara kompetisi guna memerangi masalah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun