Kneeling protest menjadi simbol global untuk memerangi rasisme atas tindakan semena-mena dan tak adil kepada orang kulit hitam.
Di tengah musim panas yang terik, pada 28 Agustus 1963, sekitar 250 ribu orang melakukan longmarch sejauh 1,6 km dari Washington Monument menuju Lincoln Memorial, Washington DC.
“Saya bermimpi di mana pada suatu hari nanti keempat anak saya akan tinggal di sebuah negara yang tidak menilai seseorang menurut warna kulitnya, tetapi menurut karakter.”
Demikian kutipan isi pidato fenomenal berjudul "I have a dream" yang menjadi salah satu khotbah paling berpengaruh dalam sejarah Amerika Serikat (AS).
Dengan suara lantangnya, Martin Luther King Jr. menyulut massa yang berkumpul di depan kaki patung Abraham Lincoln. Di monumen itu pula pada tahun 1862 silam Proklamasi Emansipasi mengakhiri era perbudakan selama Perang Sipil.
Dalam orasinya, ia mengangkat beragam isu mulai dari pengangguran, masalah rasial, hingga keadilan sosial. King juga menuntut hak-hak sipil, kesetaraan, dan pencabutan aturan-aturan yang dinilai melanggengkan segregasi menurut ras.
Orasi King di Lincoln Memorial menjadi momentum paling krusial dalam langkah perjuangan warga kulit hitam. Gerakan itu berlangsung damai, tanpa kekerasan dan sukses memenangkan hati rakyat AS.
Akan tetapi, kondisi warga Afro-Amerika tidak banyak mengalami perubahan usai AS berproses selama satu abad semenjak Perang Sipil berakhir.
Hingga kini doktrin rasial tak ubahnya benang kusut. Warga Negeri Paman Sam belum benar-benar bebas dari rasisme. Masyarakat Afro-Amerika masih rentan dikriminalisasi. Diskriminasi pun masih saja terjadi. Bentrokan atas nama warna kulit terus meletus di negeri tersebut.
Lantas pada 2013 para aktivis kulit hitam menginisiasi gerakan Black Lives Matter (BLM) sebagai simbol perlawanan atas kekerasan aparat pada warga kulit hitam.
Sebagai lambang berkabung, solidaritas, dan penghormatan, massa demonstrasi pun serempak berlutut di jalanan. Mereka juga tampak meminta polisi yang tengah mengamankan aksi demonstrasi untuk melakukan gestur serupa.
Pada 2 Juni 2020, sebagai wujud simpati kepada Floyd lebih dari 60 polisi berlutut di depan massa demonstrasi di Carolina Utara. Prosesi itu sukses membuat massa terharu hingga menitikkan air mata.
"Kneeling protest" lalu menyebar secara sporadis. Selain aparat, pejabat publik AS dan warga dunia juga turut melakukan ritus serupa sebagai simbol dukungan.
Mereka berlutut lantas mengheningkan cipta selama 8 menit dan 46 detik yang merupakan durasi saat Floyd tewas usai lehernya ditindih di Minneapolis.
Siapa yang mengawali kneeling protest?
"Kneeling protest" mulai menyita atensi masyarakat global berawal dari National Football League (liga sepak bola Amerika) karena beberapa pemain akan berlutut selama lagu kebangsaan berkumandang.
Protes berlutut yang dilakukan Kaepernick dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran akan kebrutalan polisi kepada warga kulit hitam (Afro-Amerika).
Aksi itu sempat membuat Donald Trump dan para pendukung setianya kebakaran jenggot karena mereka tidak memahami esensinya. Mereka menilai aksi berlutut ketika lagu kebangsaan AS diputar, sama halnya tidak menghormati bendera atau wujud pelecehan terhadap simbol negara.
Bahkan Trump kala itu juga mengancam tidak akan lagi menonton pertandingan American Football jika saja aksi tersebut tetap berlanjut. Tidak hanya itu, Trump juga mendesak agar sang pemain dicopot dari klub. Sementara eks presiden Barack Obama menganggap aksi protes tersebut sebagai hak konstitusi para atlet.
Kaepernick saat itu berkata: "Saya tidak akan pernah berdiri untuk menunjukkan kebanggaan pada bendera sebuah negara yang kerap menindas orang kulit hitam dan orang kulit berwarna."
Kneeling protest saat ini dilakukan oleh orang-orang di seluruh dunia sebagai bagian dari gerakan Black Lives Matter untuk memerangi rasisme.
Gestur atau gerak tubuh memang telah lama menjadi media komunikasi non-verbal yang mampu menyiratkan pesan melibihi apa yang bisa dilakukan media verbal lain.
Dalam orasi, gerak tubuh akan semakin memperkuat pesan-pesan yang hendak disampaikan kepada khalayak. Taruhlah gestur tangan terbuka yang ditunjukkan King saat menggemakan I have a dream kepada 250 ribu para demonstran yang hadir di Lincoln Memorial.
King membuka tangannya lebar-lebar ketika dirinya mengucapkan kata "kita" sebagai simbol bahwa ia setara dengan para pendukungnya. Mereka semua sama sebagaimana harapan yang ia sampaikan, agar orang kulit hitam dan kulit putih dapat duduk sejajar di meja yang sama.
Kala itu King dan para demonstran yang ia pimpin dipaksa berlutut atas tuduhan menggelar aksi tanpa ijin. Lebih dari 250 orang ditahan, termasuk sang aktivis kulit hitam sekaligus pemimpin massa pekerja sayap kanan, Martin Luther King.
"Berlutut bukan hanya suatu tindakan pembangkangan dan perlawanan, tetapi juga penghormatan, berkabung, serta menghormati nyawa yang hilang," kata Chad Williams, ketua Departemen Studi Afro-Amerika di Universitas Brandeis.
Chad menganggap aksi berlutut sebagai hal yang sederhana. Kesederhanaan aksi itu memberinya kekuatan simbolis yang teramat kuat seperti aksi solidritas yang telah bergema di seluruh dunia.
Selain berlutut, massa demonstrasi juga mengepalkan salah satu tangan ke udara. Gestur itu dapat dimaknai sebagai simbol perlawanan dan tekad yang membara.
Apabila "kneeling protest" direfleksikan terhadap tipikal King dalam menggelar aksi, maka sangat jelas terlihat bahwa gestur itu memiliki kesamaan identitas dan pesan, yakni sama-sama dilakukan secara damai dan memantik simpati.
Dibandingkan melawan dengan serangan verbal serupa atau melakukan tindakan anarkis, mereka memilih berlutut sebagai simbol perang melawan rasisme.
Gestur simbolis itu merupakan cara yang paling mujarab untuk melawan perilaku represif aparat. Sebuah aksi damai yang menjadi antitesis dari tindak anarkisme sehingga bentrokan dapat diminimalisir.
Kneeling Protest dalam Sepak Bola
Usai Kaepernick mempopulerkan kneeling protest, aksi yang sama juga diperagakan pesepak bola wanita AS, Megan Rapinoe, sebagai wujud solidaritas.
Tak berselang lama, aksi solidaritas itu manyebar hingga daratan Inggris. Usai kompetisi digelar kembali, para pemain Manchester City dan Arsenal mengikuti langkah Aston Villa dan Sheffield United yang berlutut di lapangan sebagai wujud dukungan terhadap gerakan BLM.
Ketika itu video tribut untuk BLM juga ditayangkan sebelum lantas kedua tim melakukan gestur berlutut. Tak hanya itu, kampanye antirasisme juga tampak di area punggung kaus setiap pemain yang bertuliskan "Black Lives Matter".
Aksi solidaritas itu sejatinya tidak hanya berlaku bagi masyarakat kulit hitam AS, mengingat para pelaku sepak bola juga sangat rentan terpapar kasus rasis yang sama. Entah sudah berapa ratus pemain maupun ofisial tim yang menjadi korban rasisme di atas lapangan hijau.
Hingga yang paling baru, hinaan bernada rasis juga dialami asisten pelatih Istanbul Basaksehir, Pierre Webo, pada laga Grup H Liga Champions 2020 melawan PSG.
Bertindak sebagai wasit ofisial keempat, Sebastian Coltescu kala itu dinilai telah melontarkan kata "Negri" (kulit hitam) kepada Webo. Akibat peristiwa itu, laga terhenti di menit ke-15 dan dilanjutkan sehari setelahnya.
Webo yang 'terbakar' dan naik pitam lalu dikartumerah hingga akhirnya membuat laga memanas. Amarah itupun menjalar ke pemain Istanbul seperti yang tampak pada Demba Ba kala ia mengonfrontasi Coltescu.
UEFA kemudian berencana melakukan investigasi atas tudingan rasis tersebut. Sementara itu Webo mendapat banyak dukungan dari publik sepak bola.
FIFA sebagai induk otoritas sepak bola menyadari tindakan rasisme masih saja menodai kesucian the Beautiful Game.
Sportivitas dan fair play tercoreng akibat perilaku rasis yang acapkali menghantui para pelaku sepak bola. Kampanye Say No To Racism, Anti-Racism, dan juga Respect selalu digemakan oleh penyelenggara kompetisi guna memerangi masalah itu.
Kneeling protest sempat memicu polemik. Banyak pihak yang mengaitkannya pada simbol politik. Namun, sejatinya, ritus berlutut memiliki konteks serupa dengan moment of silence yang kerapkali digelar menjelang pluit sepak mula dibunyikan.
Kedua gestur tersebut dilakukan sebagai penghormatan dan wujud simpati atas sebuah tragedi kemanusiaan sehingga tidak ada alasan yang cukup logis bagi FIFA untuk memberi sanksi kepada para pemain yang melakukan ritus tersebut.
Rasisme adalah "common enemy" bagi peradaban, termasuk di jagat sepak bola. Bukankah Tuhan menciptakan beraneka ragam makhluk hidup agar dapat saling mengenal bukan saling menjatuhkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H