Sebelum pertandingan dimulai, kit man telah terlebih dulu berada di dressing room. Biasanya, mereka akan menyiapkan beberapa helai jersey pemain untuk berjaga-jaga apabila mengalami kerusakan selama bertanding.
Selain itu, kostum cadangan juga berguna kala para pemain diharuskan mengganti jersey mereka yang sudah basah, baik terkena air hujan maupun keringat, agar mereka tetap kering dan nyaman saat bermain.
Sebuah hal yang lazim di dunia sepak bola ketika menyaksikan pesepak bola bertukar kostum usai pertandingan. Tidak jarang pula mereka langsung melemparkan jersey kepada para penggemar di tribun usai bertanding.
Tidak hanya penggemar, para pemain pun hobi mengoleksi jersey bekas milik pemain-pemain lain, baik kostum dari rekan setim ataupun tim lawan.
Jika para pemain sudah kehabisan jatah kostum, baik karena ritual pertukaran jersey (swap shirt) dengan pemain lawan maupun diberikan kepada penggemar, maka biaya jersey akan dibebankan kepada pemain dengan memotong gaji.
Bagi pemain top Eropa, hal itu tak pernah menjadi perkara sulit. Dengan gaji sekitar 40 ribu paun per pekan (Premier League), menebus jersey seharga 100 paun tidak akan mengancam kondisi finansial mereka sedikitpun.
Mereka mengasosiasikan dirinya dengan klub atau dengan pemain idolanya lewat jersey yang mereka kenakan. Para penggemar bahkan rela merogoh kocek lebih dalam untuk mengoleksi jersey tim jagoannya dari edisi terbaru hingga yang lawas dan yang langka di pasaran.
Ketika Kementerian Perdagangan mulai menerapkan regulasi larangan impor pakaian bekas, para kolektor kostum (vintage) Indonesia pun merana.
Pasalnya, beberapa jersey klub vintage diperoleh kolektor Indonesia dari luar negeri (impor). Tentu saja second hand (bekas). Namun, bukan berarti nilainya menjadi berkurang.
Di mata para kolektor, sebagaimana memorabilia dan barang koleksi lainya, jersey memiliki nilai historis yang sangat tinggi yang menandai riwayat panjang pemain maupun klub sepak bola.