Entah apa yang sebenarnya ada di dalam benak legenda Premier League asal Wales ini sehingga ia nekat memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Andai saja Gary Speed masih hidup, ia akan genap berusia 51 tahun pada tanggal 8 September 2020 lalu. Namun, sayang, Tuhan tidak menghendaki demikian.
Di pagi yang kelam pada bulan November 2011. Istri Gary, Louise, menemukan suaminya meregang nyawa dengan cara gantung diri di garasi rumahnya, sehari usai Gary menghadiri acara televisi.
Mirisnya, peristiwa nahas yang dialami mantan pemain Leeds United itu ternyata bukan yang pertama kalinya. Satu tahun sebelum Gary memutuskan untuk bunuh diri, mantan pemain Nottingham Forest, Dale Roberts, juga dinyatakan meninggal dengan cara serupa.
Bahkan pemain yang berposisi sebagai penjaga gawang tersebut mengakhiri hidup di usia emasnya sebagai pemain sepak bola profesional, yakni saat dirinya menginjak usia 24 tahun pada 2010 lalu.
Tak hanya sama-sama berposisi sebagai penjaga gawang, mantan penggawa Benfica dan Barcelona, Robert Enke, rupanya juga memilih jalan yang sama.
Pada tanggal 10 November 2009, Enke meloncat ke perlintasan kereta ekspres di dekat rumahnya. Laju kereta dengan kecepatan 160 km/jam membuat dirinya terpental dan tewas seketika. Pesepak bola kelahiran Jerman tersebut tumbang di usianya yang masih sangat produktif, 32 tahun.
Lantas apa yang menyebabkan mereka sampai nekat mengakhiri hidupnya?
Setelah diselidiki, sebelum ketiga pemain tersebut memutuskan untuk tunduk kepada kematian, ternyata mereka telah terlebih dahulu mengalami depresi berat.
Keretakan hubungan dengan sang istri disebut-sebut sebagai pemicu depresi yang dialami oleh Gary. Begitu halnya Dale yang sempat diduakan sang kekasih serta cedera yang dideritanya menjadi penyebab atas depresi yang ia alami.
Berbeda dengan kedua pemain kelahiran Britania Raya tersebut, Enke diketahui telah mengalami depresi berat sejak ia gagal memenuhi ekspektasi ketika masih membela Barcelona. Kematian putrinya pada tahun 2006 semakin memperburuk kondisinya saat itu.
Selain nama-nama di atas, masih ada puluhan pesepak bola lainnya yang juga memilih jalan "harakiri" dengan pemicu yang beragam. Fakta yang mengejutkan, mengingat pesepak bola adalah sebuah profesi yang sangat prestise dan diidam-idamkan.
Selain masalah pribadi, problematika di atas lapangan hijau juga mempunyai dampak yang signifikan bagi kesehatan mental para pesepak bola, terlebih di era industrialisasi sepak bola.
Aspek modernisasi dan kapitalisasi yang melibatkan uang dengan jumlah besar akan menambah tekanan pada pundak pesepak bola untuk selalu bermain baik dan berprestasi. Artinya, ada harga yang harus dibayar jika mereka tidak mampu tampil sesuai ekspektasi.
Semakin banyak pihak dan aspek yang dilibatkan, maka akan semakin besar pula peluang pesepak bola mengalami depresi atau gangguan mental lainnya.
Ketika mereka bermain buruk dalam sebuah laga atau bahkan tak mampu mempersembahkan sebuah trofi, maka cemooh para suporter dan pemberitaan negatif media merupakan konsekuensi logis di era sepak bola modern.
Selain itu, ada pula level adaptasi pada permainan tim dan lingkungan juga semakin meningkatakan tekanan pada diri para pemain sepak bola.
Tuntutan untuk bermain sempurna di setiap laga yang ditetapkan oleh pelatih juga memiliki andil terhadap kondisi mental pemain. Apabila tidak mampu bermain sesuai harapan, maka mungkin saja mereka tidak akan dimainkan atau bahkan terusir dari skuat.
Hal itulah yang pernah dialami oleh Enke 18 tahun silam kala ia masih berseragam Azulgrana. Sebagai kiper debutan yang didatangkan dari Benfica, pria kelahiran Jerman itu merasa terkucilkan di dalam skuat Barcelona yang didominasi oleh orang-orang berdarah Belanda termasuk sang pelatih, Louis van Gaal.
Saat pertama kali menjalin komunikasi, sebelum Enke resmi membela Barca, ia pernah mencoba untuk meminta jaminan bermain di klub barunya itu. Alih-alih menyanggupi atau memberikan respons diplomatis, van Gaal justru berkata "Bahkan aku tidak mengenalmu!" Hal itulah yang seakan menjadi awal dari masa-masa sulit dan kisah tragis Enke.
Setelah resmi bergabung dengan skuat asuhan van Gaal, Enke gagal beradaptasi dengan gaya permainan yang pada saat itu mulai dikembangkan Azulgrana. Enke bukan tipikal penjaga gawang yang lihai bermain dengan skill kakinya (foot-work) yang menjadi filosofi permainan dari kaki ke kaki (Tiki-taka) ala Barcelona.
Puncaknya, saat ia menjalani debut, Enke dijadikan kambing hitam atas 2 dari 3 gol yang bersarang di gawang Barca di ajang Copa del Rey. Dalam laga tersebut mereka dipermalukan dengan skor 2-3 oleh klub penghuni divisi ketiga Spanyol, Novelda.
Impak dari performa buruknya tersebut, van Gaal marah dan tidak memainkannya sebagai kiper saat itu juga sampai musim kompetisi rampung. Bahkan laga versus Novelda menjadi satu-satunya laga yang ia mainkan selama 2 tahun berseragam Blaugrana.
Enke lantas disekolahkan ke Fenerbahce selama semusim kemudian dipinjamkan kembali ke Tenerife setahun berselang. Tak kunjung bisa menemukan performa terbaiknya, pada tahun 2004 akhirnya ia dibuang secara permanen ke Hannover. Menjadi klub terakhirnya sebelum Enke meregang nyawa.
Istri Enke, Teresa, mengungkapkan, bahwa suami yang dicintainya itu sudah mengalami depresi berat selama 6 tahun dan telah memperoleh penanganan dari psikiatri. Namun, tragis, semua upaya itu tidak dapat menghentikan sang suami untuk mengakhiri hidup dan "gantung sepatu" untuk selama-lamanya.
Depresi sudah menjadi permasalahan yang serius bagi pesepak bola sejak lama. Nama-nama besar seperti Andres Iniesta, Michael Carrick, Gianluigi Buffon, Aaron Lennon, Adriano Leite, Danny Rose, serta Emmanuel Ebou adalah sebagian contoh pemain yang pernah berjuang melawan serangan depresi.
Asosiasi pesepak bola internasional (FIFPro) melaporkan mengenai adanya peningkatan tajam jumlah pesepak bola yang mengalami gejala depresi akibat terhentinya seluruh kegiatan olahraga selama pandemi.
FIFPro melakukan sebuah studi yang menyasar 1602 pesepak bola profesional. Penelitian yang dilakukan antara 22 Maret dan 14 April 2020 di 16 negara itu menemukan, 22% dari 468 pesepak bola wanita dan 13% dari 1134 pesepak bola pria mengalami gejala depresi. Selain itu mereka juga mengungkapkan, bahwa 18 persen pesepak bola wanita dan 16 persen pesepak bola pria menunjukkan gejala kecemasan (anxiety).
Jika dibandingkan dengan hasil studi yang dilakukan sebelumnya, yakni pada Desember 2019 dan Januari 2020, angka pemain yang mengalami depresi hanya di kisaran 11% pada pesepak bola wanita serta 6% pada pesepak bola pria.
Fakta bahwa pesepak bola hidup jauh dari keluarga turut meningkatkan peluang mereka mengalami depresi. Masa krisis pandemi yang tak diketahui kapan akan segera berakhir menjadi tekanan mental yang besar bagi mereka.
"Gejala depresi tersebut dirasakan oleh para pemain muda, baik pria maupun wanita, karena secara tiba-tiba harus melakukan isolasi diri, yang akhirnya bisa mempengaruhi pekerjaan dan masa depan mereka. Ini adalah masa yang penuh dengan ketidakpastian bagi para pesepak bola beserta keluarganya," kata Kepala Petugas Medis FIFPro, Vincent Gouttebarge, dilansir dari Reuters.
Sementara Sekjen FIFPro, Jonas Baer-Hoffman, menegaskan pihaknya tidak membuat pengecualian antara pamain-pemain di bawah naungannya dengan apa yang dialami masyarakat umum.
"Kami sadar, bahwa hasil penelitian ini merupakan cerminan dari masalah yang terjadi di masyarakat secara luas, karena sebenarnya mereka (pesepak bola) juga bagian dari masyarakat itu sendiri. Hanya saja, banyak pihak yang salah paham dengan kehidupan yang mereka jalani," ujar Jonas.
Jonas juga mengungkapkan ada banyak pemain yang justru hidup dalam kondisi keuangan yang sulit di usia emas sebagai pesepak bola profesional. Tak jarang pula yang hanya bergantung pada skill olah bola, sehingga tak memiliki apapun jika hal-hal buruk menimpa mereka.
Nasib nahas nyaris menimpa 4 pemain Skotlandia yang melakukan percobaan bunuh diri seandainya saja mereka telat memperoleh penanganan dari para ahli di sebuah badan amal bidang kesehatan mental di Skotlandia.
Psikologi merupakan salah satu aspek olahraga yang kerap dipandang sebelah mata. Peran mereka jarang mendapat perhatian media karena sifatnya yang tertutup dan rahasia.
Meski begitu, peran penting kesehatan mental bagi pesepak bola profesional membuat klub-klub elit menempatkan para tenaga ahli terbaik di bidangnya di dalam struktur klub mereka.
Arsenal, misalnya, kala masih ditangani oleh Arsene Wenger. Pelatih asal Prancis tersebut memberikan porsi perhatian yang sangat besar untuk aspek psikologi olahraga selama bertahun-tahun.
Selain menjadi ranah pelatih, penurunan performa pemain juga menjadi kajian bagi psikolog klub. Memelihara mental bertanding agar tetap di level kompetitif menjadi salah satu tugas mereka.
Seorang psikolog olahraga asal Inggris, Dr Tim O'Brien, menjadi dalang di balik kesuksesan skuat The Invicibles racikan Wenger seperti Thierry Henry, Dennis Bergkamp, Freddie Ljungberg, Patrick Vieira, dan Robert Pires. Ia menghabiskan hampir satu dekade di belakang layar melalui kerja-kerja senyap di Arsenal.
Kompleksitas itulah yang lantas menjadi salah satu alasan mengapa klub-klub mempekerjakan psikolog (penuh waktu) yang mampu memenuhi kebutuhan dan mengurai beragam permasalahan yang dialami oleh para pemain dan staf kapan saja kala dibutuhkan.Â
Sebagaimana faktor teknis, kesehatan mental dan aspek psikologis lain juga memainkan peran yang sangat krusial bagi perjalanan karier dan kehidupan para pesepak bola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H