Garang di kandang, ngos-ngosan di markas lawan.
Digelar perdana pada tahun 1888, English Football League (EFL) menjadi kompetisi sepak bola tertua di dunia. Sebelumnya, olahraga sebelas lawan sebelas tersebut hanya dimainkan sebagai sarana rekreasi.
Liga yang dimenangkan Preston North End itu merupakan kompetisi tertinggi di Negeri Ratu Elizabeth sebelum 22 klub pesertanya memisahkan diri, kemudian menginisiasi berdirinya English Premier League (EPL) pada tahun 1992 silam.
Kala itu klasemen liga hanya ditentukan dari hasil menang, seri, dan kalah, tanpa rincian poin. Baru pada akhir November di tahun yang sama sistem poin mulai diberlakukan.
Tim pemenang akan diberikan dua poin dan satu poin untuk hasil seri. Jumlah agresivitas gol akan menentukan posisi mereka di papan klasemen jika memiliki poin yang sama. Setiap tim bermain dua kali, sekali di kandang (home) dan sekali tandang (away).
Sejak sistem kandang-tandang mulai diterapkan, setiap tim di seluruh dunia memiliki kecenderungan bermain lebih baik di kandangnya sendiri dibanding saat bertandang ke markas lawan atau ketika berlaga di tempat netral.
Laga Barcelona melawan Liverpool, misalnya, di semifinal Liga Champions 2018/19. Tim asuhan Ernesto Valverde kala itu mampu tampil garang di Camp Nou dengan kemenangan tiga gol tanpa balas. Hasil tersebut membuat mereka di atas angin dan diunggulkan untuk lolos ke babak selanjutnya.
Namun, sayangnya, mereka gagal melaju ke final setelah tim asuhan Jurgen Klopp mampu membalikkan agregat menjadi 4-3 saat bertanding di Anfield. Lagi-lagi publik Catalan harus tenggelam dalam guratan luka-luka dan gelinangan air mata.
Dalam pertandingan semifinal tersebut, Messi dan kolega sudah tampak ngos-ngosan meski baru menginjakkan kaki di Anfield yang (pernah) dikenal angker di daratan Inggris.
Sebaliknya, motivasi yang sangat tinggi ditunjukkan oleh Liverpool yang bermain di depan suporternya sendiri walaupun di leg pertama mereka tumbang tanpa bisa melesakkan satu gol pun.Â
Apa yang membuat penghangat bangku cadangan sekelas Divock Origi bermain begitu trengginas dan berdarah-darah hingga ia dapat mencetak dua gol krusial yang mampu membawa The Kop ke final?
Mentalitas jago kandang yang sama juga bisa ditemui jika kita mengamati negara pemenang Piala Dunia. Setidaknya ada 6 timnas yang berhasil menjuarai ajang 4 tahunan itu di rumahnya sendiri, yakni Uruguay (1930), Italia (1934), Inggris (1966), Jerman Barat (1974), Argentina (1978), dan Prancis (1998).
Bahkan pada Piala Dunia 2002, tuan rumah Korea Selatan berhasil mencapai semifinal, hasil yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Kebetulan kah? Atau apakah bermain di kandang sendiri mampu menghadirkan perbedaan?
Sejak diselenggarakannya EFL perdana di tahun 1888, tren jago kandang semacam itu sudah lazim terjadi, bahkan sampai hari ini. Fenomena itu dikenal dengan istilah "home advantage", atau kondisi ketika sebuah tim diuntungkan setiap kali bermain di kandang sendiri.
Home advantage direpresentasikan oleh konsistensi sebuah tim dalam meraih prosentase kemenangan di atas 50% di kandang.
Untuk membuktikan hipotesis itu, dalam jurnal yang berjudul "Home Advantage: Comparison between the Major European Football Leagues", Werlayne S. S. Leite melakukan investigasi terhadap 10 liga top Eropa di musim 2015/16 dengan total 3.223 pertandingan.
Terdapat 3 faktor utama yang berimpak pada hasil laga yang menguntungkan tim tuan rumah, yakni keakraban dengan stadion, suporter, dan wasit.
#1 Keakraban dengan Stadion
Ketika sebuah tim bermain di kandang, mereka akan tampil di stadion dengan kondisi dan lingkungan yang sudah dikenal baik. Hal itu akan memberikan keuntungan bagi tuan rumah karena tidak diperlukan proses adaptasi.
Toni Pulis, saat masih melatih Stoke City, sengaja mengecilkan ukuran lapangan di stadion mereka untuk membuat lawan yang terbiasa bertanding di lapangan berukuran besar bingung karena harus bermain di lapangan yang lebih kecil.
Hal serupa juga diterapkan oleh Arsene Wenger di Highbury agar mereka bisa bermain dengan cepat dan mengalir di lapangan yang sempit, sementara lawan kebingungan. Uniknya, skuad asuhan Wenger juga tampak kesulitan dalam mengembangkan permainan setelah mereka hijrah dari markas lamanya, Highbury, ke Emirates Stadium.
Selain itu, iklim dan ketinggian lokasi stadion juga sangat berpengaruh baik bagi kubu tuan rumah maupun tamu. Taruhlah Argentina dan Brazil ketika harus bertandang ke Bolivia.
Kondisi itu akan sangat menguntungkan bagi Bolivia yang sudah familiar dengan ketinggian dan level oksigen yang sangat tipis. Hal itu terbukti dari hasil positif yang mereka catatkan saat bermain di kandang. Bahkan Argentina pun berhasil mereka hancurkan dengan skor 6-1 pada April 2009 silam.
Aspek keakraban dengan stadion atau tempat digulirkannya laga juga dapat memicu kesadaran spasial yang lebih besar pada para pemainnya. Sehingga memungkinkan pemain dari kubu tuan rumah untuk melakukan tugas-tugas yang lebih efektif sesuai dengan posisi dan perannya di atas lapangan.
#2 Suporter (Penonton)
Apalah arti sepak bola tanpa suporter. Semboyan yang telah lama dipercaya, bahwa sepak bola akan kehilangan jiwa tanpa adanya suporter setia klub.
Tampil di depan puluhan ribu suporter yang terus-menerus bernyanyi dan bersorak mendukung tim kesayangannya merupakan impian semua pemain sepak bola di seluruh belahan Bumi.
Semakin banyak jumlah suporter yang hadir di dalam stadion, maka akan semakin besar pula efek positif yang dapat mendongkrak performa pemain.
Besarnya dukungan dari suporter akan membuat setiap pemain termotivasi dan menunjukkan kemampuan terbaiknya. Maka tak heran jika Origi mampu tampil kesetanan saat membekuk Barcelona.
Di sisi lain, kebisingan, kemegahan, dan atmosfernya menjadikan Sudtribune di markas mereka sangat mengintimidasi tim tamu yang bertandang.Â
Hal itu pernah diakui oleh eks pemain Bayern Munchen dan timnas Jerman, Bastian Schweinsteiger. Sebelum laga melawan Dortmund, ia pernah ditanya mana yang lebih menakutkan, pemain atau pelatih Dortmund. "Yellow Wall-lah yang paling membuat saya ketakutan," jawabnya seperti dilansir dari Goal.
Apa yang dirasakan oleh Bastian adalah sebuah cerminan jika suporter mampu memenangkan sebuah pertandingan meski peluit kick off belum dibunyikan.
Kesuksesan sebuah tim dalam meraih kemenangan di kandang tidak terlepas dari peran pemain kedua belas mereka.
#3 Keputusan Wasit
Terdapat banyak bukti yang mengarah pada premis, bahwa keputusan wasit cenderung menguntungkan tim tuan rumah. Asumsi itu didapatkan melalui analisis frekuensi kartu dan pelanggaran yang diberikan oleh wasit untuk kedua kubu.
Hasil eksperimen yang dipublikasikan oleh The Guardian mengungkapkan, wasit yang mendengar suara dukungan suporter memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menunjuk pelanggaran bagi tim tuan rumah dibandingkan saat tanpa adanya dukungan suporter.
Para peneliti menyimpulkan, wasit akan cenderung menghindari untuk menunjuk pelanggaran yang dilakukan oleh tuan rumah sebagai cara untuk melindungi diri mereka dari level stres yang muncul akibat membuat suporter tuan rumah marah.
Hal itu bukan karena wasit melakukan apa yang diinginkan suporter, tetapi hanya mencoba untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat memicu kemarahan mereka. Dalam psikologi fenomena itu disebut avoidance (penghindaran).
Aspek keputusan wasit berkaitan erat dengan kehadiran suporter di stadion tempat digelarnya pertandingan.
Fenomena itu pun bukan hal asing di sepak bola Indonesia. Wasit acapkali terlihat ragu-ragu atau bahkan enggan memberikan kartu kepada pemain tuan rumah karena mendapatkan intimidasi dari suporter.
#Faktor Lainnya
Sejak pemain dan pelatih mengetahui dengan bermain di kandang mampu memberikan keuntungan bagi tim, mental mereka setelah dan sebelum bertanding juga akan terpacu.
Tim tuan rumah akan lebih percaya diri saat bermain di depan pendukungnya. Mereka juga akan lebih optimistis untuk bisa meraih kemenangan.
Setiap pemain memiliki naluri untuk tidak begitu saja membiarkan tim tamu guna memenangkan pertandingan yang digelar di kandang mereka. Tuan rumah tidak akan rela markasnya dinodai oleh kekalahan.
Selain itu, faktor perjalanan yang harus ditempuh tim tamu saat menjalani laga tandang juga akan menguntungkan tuan rumah karena mempunyai lebih banyak waktu mempersiapkan diri menjelang dimulainya pertandingan. Kebugaran mereka juga lebih terjaga.
Semua faktor tersebut memiliki ikatan yang erat sehingga mampu memberikan keuntungan bagi tim tuan rumah. Tentu tanpa menafikan aspek teknis meliputi kualitas permainan, materi pemain, dan strategi yang diterapkan oleh pelatih.
Tiada hal yang lebih membahagiakan bagi suporter selain ketika merayakan kemenangan di kandang sendiri. Begitu pula bagi pemain. Home sweet home!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H