Apa yang membuat penghangat bangku cadangan sekelas Divock Origi bermain begitu trengginas dan berdarah-darah hingga ia dapat mencetak dua gol krusial yang mampu membawa The Kop ke final?
Mentalitas jago kandang yang sama juga bisa ditemui jika kita mengamati negara pemenang Piala Dunia. Setidaknya ada 6 timnas yang berhasil menjuarai ajang 4 tahunan itu di rumahnya sendiri, yakni Uruguay (1930), Italia (1934), Inggris (1966), Jerman Barat (1974), Argentina (1978), dan Prancis (1998).
Bahkan pada Piala Dunia 2002, tuan rumah Korea Selatan berhasil mencapai semifinal, hasil yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Kebetulan kah? Atau apakah bermain di kandang sendiri mampu menghadirkan perbedaan?
Sejak diselenggarakannya EFL perdana di tahun 1888, tren jago kandang semacam itu sudah lazim terjadi, bahkan sampai hari ini. Fenomena itu dikenal dengan istilah "home advantage", atau kondisi ketika sebuah tim diuntungkan setiap kali bermain di kandang sendiri.
Home advantage direpresentasikan oleh konsistensi sebuah tim dalam meraih prosentase kemenangan di atas 50% di kandang.
Untuk membuktikan hipotesis itu, dalam jurnal yang berjudul "Home Advantage: Comparison between the Major European Football Leagues", Werlayne S. S. Leite melakukan investigasi terhadap 10 liga top Eropa di musim 2015/16 dengan total 3.223 pertandingan.
Terdapat 3 faktor utama yang berimpak pada hasil laga yang menguntungkan tim tuan rumah, yakni keakraban dengan stadion, suporter, dan wasit.
#1 Keakraban dengan Stadion
Ketika sebuah tim bermain di kandang, mereka akan tampil di stadion dengan kondisi dan lingkungan yang sudah dikenal baik. Hal itu akan memberikan keuntungan bagi tuan rumah karena tidak diperlukan proses adaptasi.
Toni Pulis, saat masih melatih Stoke City, sengaja mengecilkan ukuran lapangan di stadion mereka untuk membuat lawan yang terbiasa bertanding di lapangan berukuran besar bingung karena harus bermain di lapangan yang lebih kecil.
Hal serupa juga diterapkan oleh Arsene Wenger di Highbury agar mereka bisa bermain dengan cepat dan mengalir di lapangan yang sempit, sementara lawan kebingungan. Uniknya, skuad asuhan Wenger juga tampak kesulitan dalam mengembangkan permainan setelah mereka hijrah dari markas lamanya, Highbury, ke Emirates Stadium.