Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kisruh Konflik Kepentingan dan Optimistis ala Alfred Riedl

10 September 2020   23:50 Diperbarui: 11 September 2020   19:10 1562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin Riedl telah gagal di dua partai final. Namun, ia tak pernah sekalipun gagal menumbuhkan optimistis sepak bola Indonesia.

Mengawali karier sebagai striker, Riedl menegaskan betapa tajam dirinya kala mengemas 58 gol dari 98 laga di klub senior pertamanya, FK Austria Wien.

Setelah menghabiskan lima musim di klub Austria, Riedl lantas hijrah ke Belgia dengan membela tiga klub yang berbeda, yakni Sint-Truiden, FC Antwerp, serta Standard Liege. Selain itu ia juga pernah bermain bersama FC Metz, Grazer AK, Wiener Sport-Club, dan yang terakhir VfB Modling.

Di Austria Wien, Riedl memberikan 2 kali gelar juara Bundesliga Austria di musim 1968-69 dan 1969-70 serta Piala Austria edisi 1970-71. Di Grazer AK, ia juga dapat merasakan manisnya raihan juara Piala Austria di musim 1980-81.

Selain trofi bersama klub, sejumlah gelar individual juga pernah dirasakan Alfred Riedl ketika menjadi top skor Bundesliga Austria musim 1971-72. Di Belgia Riedl menorehkannya bersama Standar Liege musim 1972-73 serta 1974-75.

Selama menjalani karier sebagai pemain, total ia mampu mencetak 210 gol dari 427 pertandingan dengan catatan konversi gol hampir mencapai 0,5 per laga. Rekor golnya jauh melampaui konversi 166 gol (499 laga) milik pemain Real Madrid, Gareth Bale, yang ia bukukan selama ini.

Produktivitas golnya sangat kontradiktif dengan prestasinya ketika menjabat sebagai pelatih, baik di level klub maupun timnas. Mulai dari Wiener Sport-Club, sampai timnas Indonesia 2016. Tidak satupun trofi juara yang berhasil Riedl persembahkan hingga akhir hayatnya.

Namun, komitmennya terhadap timnas Indonesia tak perlu diragukan. Pelatih berpaspor Austria itu bahkan rela sejenak meninggalkan istrinya yang sedang sakit demi melatih timnas Indonesia di Piala AFF 2016 lalu.

Kesetiaan Riedl di tengah konflik dualisme PSSI

Riedl bukan orang asing di kancah sepak bola Asia Tenggara. Bahkan ia sudah sangat berpengalaman karena selain pernah melatih timnas Garuda, Riedl juga pernah menangani Vietnam dan Laos.

Selama melatih tim-tim tersebut, Riedl telah merasakan ajang Piala AFF dalam enam edisi termasuk gelaran Piala AFF 2016. Lebih banyak dari pelatih manapun.

Jejak kepelatihan Riedl di Asia Tenggara ditorehkan pada 1998 saat direkrut oleh Vietnam. Bersama The Golden Stars ia mengantarkan mereka ke partai final AFF 1998 dan lolos ke babak perempat final Piala Asia 2007.

Serupa timnas Garuda, Riedl tercatat tiga periode mengarsiteki timnas Vietnam sebelum akhirnya ia melatih sesama tim Asia Tenggara lainnya, Laos. Namun, di timnas Laos ia tidak pernah tampil pada ajang Piala AFF.

Akhirnya pada 2010, PSSI yang terpikat dengan pencapaian Riedl kala membesut Vietnam pun turut mengikatnya menjadi juru taktik skuat timnas Indonesia.

Bersama Indonesia, Riedl tercatat tampil di ajang Piala AFF yang keempat kalinya di Piala AFF 2010. Pencapaiannya tidak bisa dibilang buruk, ia sukses membuat skuat Garuda tampil heroik hingga partai Final. Sayangnya tim Merah Putih harus mengakui kehebatan Malaysia dan hanya menjadi runner up. 

Saat itu Riedl juga sukses menempatkan timnas Garuda di peringkat 127 ranking FIFA. Dimana posisi tersebut merupakan terbaik kedua setelah era timnas asuhan Benny Dollo.

Kemesraan pria kelahiran 2 November 1949 dengan skuat timnas Garuda tidak berlangsung lama. Riedl dilengserkan pada tahun 2011 akibat konflik dualisme di tubuh otoritas sepak bola Tanah Air.

Keputusan PSSI untuk memecat Riedl kala itu patut dipertanyakan, meski ia sudah memberikan harapan baru bagi sepak bola Indonesia di Piala AFF 2010. Apalagi timnas juga menunjukkan tren positif dari aspek permainan, walaupun akhirnya harus tumbang oleh Malaysia di partai puncak.

Bahkan secara terang-terangan Riedl mengaku dijadikan tumbal atas pusaran konflik kepentingan yang terjadi di dalam tubuh PSSI.

"Ini sport political decision. Saya korban pertarungan PSSI lama dan PSSI baru. Oh bukan, saya ini korban Mr. Bakrie versus Panigoro," kata Riedl seperti dikutip dari Detiksport, 15 Juli 2011.

Jauh sebelum pernyataan itu dibuat, Riedl sudah menyadari kentalnya aroma politik di sepak bola Indonesia. Ia merasa resah, timnas yang saat itu masih berjuang di Piala AFF 2010 dijadikan ajang "sirkus" politik. Bahkan ia sempat dibawa untuk bersafari ke rumah ketua umum Partai Golkar, Abu Rizal Bakrie.

Ternyata pria kelahiran Vienna tersebut bukan satu-satunya pelatih yang pernah terlibat masalah ataupun menjadi korban konflik kepentingan PSSI. Diketahui deretan nama pelatih seperti Luis Manuel Blanco, Luis Milla, Simon McMenemy, serta pelatih timnas Garuda saat ini Shin Tae-yong juga sempat tersandung permasalahan serupa dengan PSSI.

Setelah itu, Riedl sempat "mengungsi" ke Laos, tetapi bukan menjabat sebagai pelatih kepala, melainkan hanya menjadi direktur teknik.

Seakan tidak mengenal kapok, ia kembali menerima pinangan dari PSSI pada 2013 pasca konflik di tubuh otoritas sepak bola Indonesia usai. Tanpa ragu ia menerima target juara yang disodorkan oleh PSSI di Piala AFF 2014. Dengan harapan mampu melampaui torehan runner up pada Piala AFF 2010.

Namun, Riedl untuk kedua kalinya gagal memenuhi ekspektasi tersebut. Lebih nahasnya lagi, ia bahkan tidak mampu meloloskan skuat Merah Putih dari babak penyisihan grup. Kegagalan itu berujung pada pemecatan dirinya dari kursi pelatih timnas.

Alfred Riedl bersama Wolfgang Pikal pada Piala AFF 2016. | Goal.com
Alfred Riedl bersama Wolfgang Pikal pada Piala AFF 2016. | Goal.com
Atas dasar kecintaannya pada sepak bola Tanah Air, ia kembali menerima rayuan PSSI untuk melatih timnas pada 2016 setelah Indonesia terbebas dari hukuman FIFA. Tentu saja dengan harapan akan bisa melampaui prestasinya terdahulu, yakni membawa Indonesia juara di Piala AFF 2016.

Berbeda dengan edisi sebelumnya (2014), pelatih asal Austria berhasil menyamai prestasi di gelaran Piala AFF 2010 dengan mengantarkan timnas Garuda ke partai puncak meski dengan skuat seadanya.

Di laga itu Riedl bersama skuat timnas Garuda berpeluang besar mengakhiri kutukan spesialis runner up yang telah lama mereka sandang. Sayang, lagi-lagi timnas Indonesia harus dipaksa kembali menduduki posisi runner up usai kalah agregat 2-3 dari skuat The War Elephants.

Gelar juara Piala AFF 2016 yang awalnya diharapkan menjadi kado spesial untuk Riedl yang akan pensiun dari dunia sepak bola pun urung didapatkan hingga akhir hayatnya.

Optimisme tinggi Riedl

Selama berkarier di dunia kepelatihan, Riedl dinilai sebagai pelatih yang kurang beruntung. Seakan Dewi Fortuna tidak pernah memihak dirinya, status hampir juara terus menerus ia sandang baik saat menahkodai kesebelasan di level klub maupun timnas.

Meski begitu, ia memiliki keberanian dan komitmen tinggi terhadap sepak bola Indonesia yang patut diacungi jempol. Ia berani secara terbuka melontarkan kritik tajam kepada sejumlah klub yang enggan melepas para pemainnya ke timnas. Hal yang mungkin dihindari oleh pelatih lain.

Optimisme tinggi yang Riedl tanamkan kepada anak asuhnya di ruang ganti turut menjalar hingga ke meja konferensi pers. Meski kondisi federasi dan timnas saat itu berada di masa transisi pasca sanksi dari FIFA. Kondisi tersebut tak sedikitpun melunturkan optimismenya.

Menjelang laga melawan Thailand pada final leg pertama Piala AFF 2016 yang digelar di Stadion Pakansari, Riedl sangat optimistis dengan kemampuan skuat asuhannya.

"Kami mampu. Kami berhasil mencapai final. Kami bangga dengan pencapaian kami saat ini," kata Riedl dalam sebuah konferensi pers seperti yang dinukil dari Tempo, (13/12/2016).

Namun, sangat disayangkan. Anak asuhnya tidak mampu mengkonversi optimisme tingginya di atas lapangan. Gelar juara lagi-lagi harus melayang untuk keenam kalinya sepanjang partisipasi Indonesia di Piala AFF.

Meski demikian, setidaknya Coach Riedl sudah membangkitkan optimisme publik sepak bola Indonesia untuk memiliki timnas yang kembali disegani di level Asia Tenggara.

Faktanya, sejak gelaran Piala AFF 2007 hingga edisi  2018, tak seorang pelatih pun yang bisa menandingi pencapain dua final yang ia torehkan. Terlebih lagi Riedl mengemban tugas di saat-saat otoritas sepak bola Indonesia sedang menderita "penyakit kronis" yang bernama konflik kepentingan.

Meski trofi tak kunjung bisa diraih, tetapi harapan pantang untuk diredam. Begitu pula harapan kita pada perbaikan otoritas sepak bola Indonesia dan timnasnya.

Terima kasih dan selamat jalan, Riedl!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun