"Kami mampu. Kami berhasil mencapai final. Kami bangga dengan pencapaian kami saat ini," kata Riedl dalam sebuah konferensi pers seperti yang dinukil dari Tempo, (13/12/2016).
Namun, sangat disayangkan. Anak asuhnya tidak mampu mengkonversi optimisme tingginya di atas lapangan. Gelar juara lagi-lagi harus melayang untuk keenam kalinya sepanjang partisipasi Indonesia di Piala AFF.
Meski demikian, setidaknya Coach Riedl sudah membangkitkan optimisme publik sepak bola Indonesia untuk memiliki timnas yang kembali disegani di level Asia Tenggara.
Faktanya, sejak gelaran Piala AFF 2007 hingga edisi  2018, tak seorang pelatih pun yang bisa menandingi pencapain dua final yang ia torehkan. Terlebih lagi Riedl mengemban tugas di saat-saat otoritas sepak bola Indonesia sedang menderita "penyakit kronis" yang bernama konflik kepentingan.
Meski trofi tak kunjung bisa diraih, tetapi harapan pantang untuk diredam. Begitu pula harapan kita pada perbaikan otoritas sepak bola Indonesia dan timnasnya.
Terima kasih dan selamat jalan, Riedl!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H