Aplikasi anonim ini dikenal sebagai media "pengakuan dosa" yang tak akan pernah diungkapkan di dunia nyata.
Whisper! Sesuai namanya, media sosial anonim berbasis lokasi ini menjadi habitat bagi pembisik untuk berbisik mengenai hal-hal yang tidak dapat diungkapkan di dunia nyata ataupun di platform media sosial lain karena batasan-batasan norma dan privasi.
Topik bisikannya pun cukup beragam. Mulai dari yang bersifat rahasia, receh, absurd, hingga yang tabu sekalipun. Media sosial besutan Michael Heyward bersama 2 orang rekannya itu menjadi sebuah ekosistem yang bebas, bahkan mungkin terlalu bebas.
Namun, jangan berharap untuk bisa menemukan topik tentang teori radiasi Hawking, relativitas Einstein, atau filsafat Materialisme disana, bisa jadi kamu salah alamat.
Dalam hal demografi, menurut catatan The New York Post, aplikasi yang diluncurkan pada 2012 lalu ini didominasi oleh Generasi Z dan kaum Milenial, termasuk para kawula muda Nusantara.
Anonimitas Whisper menawarkan kebebasan bagi para penggunanya untuk mengungkapkan rahasia yang selama ini telah dipendam dalam-dalam.
Semua rahasia yang awalnya hanya diketahui oleh Tuhan dan rumput yang bergoyang, di Whisper, hal itu layaknya pengakuan dosa dalam versi media sosial yang juga dikonsumsi oleh pengguna lainnya.
Singkatnya, tidak ada rahasia di media sosial ini, sebab menyimpan rahasia ataupun aib di ekosistem yang bebas dan sangat menjunjung tinggi anonimitas merupakan sebuah paradoks.
Kita hanya perlu mengisi user name, usia, dan gender yang bersifat opsional. Sudah terbayang bagaimana bebasnya media sosial ini? Plug and play!
Cukup ketikkan apapun yang ada di pikiran kita, aplikasi ini akan secara otomatis memilihkan gambar latar guna mempercantik dan memberi kesan lebih dramatis pada bisikan-bisikan yang ingin kita unggah dan bagikan.
Jika di media sosial lain memiliki banyak follower adalah sebuah dambaan bagi setiap user-nya, lain halnya Whisper yang tak mengenal istilah follower. Bahkan foto glowing ala iklan skin care pun tidak dibutuhkan disana, karena memang tidak ada fitur foto profil.
Whisper adalah jawaban bagi mereka yang selama ini menyembunyikan jati diri dalam anonimitas akun-akun alter, sekaligus menjadi antitesis dari platform media sosial mainstream.
Walaupun tujuan utamanya sebagai media curhat dan berkeluh kesah, kini Whisper justru menjadi tempat untuk melampiaskan hasrat seksual terpendam para penggunanya.
Fenomena yang pernah saya tulis di artikel Friends With Benefits dan Profesi Cuddler juga menjadikan Whisper sebagai salah satu habitatnya yang sangat subur.
Sebagian besar bisikan di whisper berisi hal-hal berbau seksual. Selebihnya tentang kegalauan, aib, ajang pamer atau apa saja yang tidak biasa diungkapkan secara terbuka di dunia nyata dan media sosial lainnya. Dan semua itu tidak hanya sebatas menjadi trend di satu kota saja.
Untuk membuktikan asumsi itu, saya menggunakan aplikasi Fake GPS untuk mengetahui trend bisikan yang tengah berkembang di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan Makassar yang saya nilai bisa merepresentasikan pergaulan muda-mudi Tanah Air.
Akun-akun BO atau prostitusi online yang umumnya ditemukan di media sosial seperti Twitter juga bisa kita jumpai di sana. Biasanya unggahan ini ditandai dengan kode-kode tertentu semisal BU (butuh uang), Open BO (open booking), VCS (video call sex), dan CS (chat sex).
Produk digital besutan WhisperText, Inc. itu juga dapat difungsikan layaknya platform perjodohan sejenis Tinder, OKCupid, atau Badoo.
Whisper menjadi "lahan basah" bagi mereka yang haus akan belaian dan kasih sayang. Baik pria, maupun wanita, semua bisa meluapkan rasa hausnya tanpa perlu khawatir identitasnya diketahui.
Mawar misalnya, sudah menggunakan aplikasi anonim ini sejak 2016. Cewek 23 tahun itu mengaku bahwa dirinya memakai Whisper sebagai media untuk mencari FWB (friends with benefits).
Segera setelah ia mengunggah bisikannya, tak kurang dari dua puluhan cowok berhasil ia jaring, namun Mawar cukup selektif dalam memilih partner. Ia akan meminta kandidat teman berkencannya untuk terlebih dahulu mengirim foto sebelum menjalin FWB.
Dalam keterangan tertulisanya, dirinya mengaku sudah melakukan meet up dengan beberapa cowok sesuai kriteria yang ia idamkan dan sukses melakukan aktivitas skidapapap.
Apa yang dilakukan Mawar telah menjadi sebuah dambaan bagi sebagian besar pengguna Whisper yang memang memanfaatkannya sebagai medan perang untuk berburu teman berbagi keringat.
Serupa dengan Mawar. Cowok bernama Bowo, 23 tahun, menggunakan Whisper sebagai sarana mencari rekan dalam menuntaskan hasrat terpendamnya. Dalam bisikannya ia menyebut ingin mendapatkan teman FWB namun tak satupun yang menghampiri.
Lain halnya Melati, yang mengaku hanya ingin mencari teman karena merasa kesepian. Cewek berusia 25 tahun ini melakukan pertemuan dengan seorang cowok yang hingga saat ini menjadi teman baiknya.
Gagasan yang sama sekali berbeda diutarakan oleh sosok Lily, 21 tahun. Dirinya memakai Whisper sebagai media untuk belajar bahasa Inggris. Ia adalah pendengar yang baik bagi orang-orang yang membutuhkan teman untuk berbagi.
Sebagian besar teman mengobrolnya adalah wanita berpaspor asing (US) yang memiliki masalah dalam hidupnya. Selain bisa membantu orang, Lily juga bisa belajar bahasa Inggris dari mereka.
Barangkali bisikan dari Anggrek menjadi pengakuan yang paling menggelikan di antara sejumlah bisikan di atas. Ia mengutarakan ketidakpuasannya saat berhubungan badan dengan salah seorang rekan FWB-nya. Pasalnya, sang cowok tak mampu mengimbangi performa gaharnya di ranjang.
Selain itu, sebagai media sosial yang sangat bebas dan demokratis, banyak ditemukan pula pengakuan-pengakuan yang terlampau tabu. Semisal pengakuan yang dibuat oleh Edo dan Desi, masing-masing berusia 25 dan 23 tahun.
Bagi sebagian besar orang, mungkin LGBTQ adalah perbuatan yang sangat menyimpang. Namun, itu tidak berlaku bagi Edo dan Desi. Dalam bisikannya, mereka berdua secara terang-terangan mencari partner ranjang sesama jenis.
Beberapa fenomena di atas hanya sebagian kecil contoh dari homogenitas bisikan-bisikan anonim di Whisper yang menunjukkan sebuah fenomena gunung es (iceberg) di kalangan anak muda.Â
Meminjam istilah Sigmund Freud, bisikan di Whisper menampakkan konflik-konflik alam bawah sadar yang kemungkinan tidak akan kita jumpai di dunia nyata. Pasalnya, apa yang dapat kita lihat dalam diri seseorang hanya sebatas fragmen-fragmen yang muncul di permukaan saja.
Di Indonesia, fenomena itu juga sudah terjadi sejak lama. Kita tidak bisa lagi menutup mata atas budaya kebebasan dalam hal seksualitas maupun beragam faktor pembentuk dan dampaknya.Â
Masa remaja adalah masa yang penuh akan rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala sesuatu, lantaran perubahan hormon, kesehatan fisik yang optimal, dan juga semangat mudanya.
Dalam hal ini diperlukan perhatian yang lebih dari orang tua sebagai kampus pertama bagi anak. Jangan pernah melupakan, bahwa kebutuhan afeksi adalah hak dari setiap anak agar mereka tidak melampiaskannya melalui perilaku negatif dan menyimpang.
Terlibatnya anak usia sekolah dan mahasiswa pada hookup culture ini bisa diantisipasi dengan memberikan pendidikan seks sedini mungkin. Menjadi tugas orang tua, masyarakat dan pemerintah untuk melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H