Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Hanya Covid-19, Virus Pembodohan Juga Perlu Vaksin

7 Agustus 2020   20:49 Diperbarui: 8 Agustus 2020   01:13 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"BISA KEMBALI NORMAL!! OBAT COVID 19 SUDAH DITEMUKAN!!"

Kutipan di atas adalah judul video karya seorang hamba Adsense dan profesor cum penjajah jamu yang materinya dinilai bertentangan dengan nalar.

Seperti halnya iklan-iklan menyebalkan yang kita lihat sambil lalu, judul dibuat sebombastis mungkin untuk menarik perhatian para pemirsanya. Meskipun dari segi materi sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat.

Di era digital, media sosial menjadi etalase utama bagaimana beragam pembodohan dikemas dalam bentuk konten tanpa mempedulikan dampak dari materi yang disajikannya. 

Di media sosial pula pembodohan itu mengalami amplifikasi hingga batas yang tak terhingga. Asal bisa viral. Adsense mengucur deras. Peduli amat, begitu kira-kira pikir mereka.

Eksistensinya telah berevolusi menjadi habitat yang sangat demokratis bagi siapa saja. Semua manusia memiliki hak setara untuk menyuarakan apapun yang ada di dalam pikirannya.

Ketika mereka merasa memiliki hak untuk berbicara tentang apa saja, saat itulah malapetaka bisa terjadi. Terlebih lagi jika posisi mereka adalah sebagai figur publik yang setiap tindakan dan ucapannya menjadi kiblat dan sorotan masyarakat.

Masalah acapkali timbul ketika tingginya semangat kebebasan dalam berekspresi tidak diiringi dengan kehati-hatian, bekal ilmu dan keahlian yang dimiliki.

Taruhlah ketika kompleksitas mikrobiologi dianalisis menggunakan pendekatan ilmu matematika.  Atau fatwa mengenai halal-haram yang dikeluarkan oleh lulusan channel YouTube, dan lain sebagainya.

Lantas akibatnya, dunia seketika menjadi ekosistem yang sangat gaduh, penuh akan bias dan kontroversi seperti halnya yang kita dapati di media sosial akhir-akhir ini akibat klaim jamu atau jimat yang efeknya serupa vaksin itu.

Manusia diciptakan dalam keterbatasan agar ia mengetahui ambang batas dirinya dan senantiasa menjadi homo homini socius yang membutuhkan satu sama lainnya. Adalah mustahil bagi manusia untuk bisa menguasai segala hal, terutama bagi mereka yang tidak memiliki dasar ilmu yang mumpuni.

Setiap manusia yang menyadari bahwa dirinya berilmu, memiliki tanggung jawab yang sangat berat. Sehingga tidak setiap orang bisa menjadi ahli, pakar, apalagi profesor. Keharusan untuk menggunakan ilmu bagi kemaslahatan umat manusia menempel erat pada diri setiap orang yang menganggap dirinya sebagai ahli atau sejenisnya.

Sejatinya kehadiran orang-orang yang mengaku ahli, pakar atau profesor tanpa dasar ilmu itu sudah diprediksikan sejak abad ke-11 oleh filsuf dan teolog muslim, Imam al-Ghazali (Algazel).

Beliau mendefinisikan manusia ke dalam empat golongan berdasarkan kedalaman ilmunya.

Pertama, manusia berilmu yang menyadari bahwa dirinya berilmu. Manusia jenis ini hanya berbicara sebatas bidang ilmu yang diketahuinya saja serta menghindari berbicara tentang hal-hal yang tidak ia miliki ilmunya.

Kedua, manusia yang tidak menyadari bahwa dirinya berilmu. Manusia dalam kategori ini memiliki potensi menjadi manusia kategori pertama tetapi ia belum menyadarinya. Hal itu menjadikan dirinya bijaksana dan berhati-hati dalam menyikapi suatu hal.

Ketiga, manusia yang tidak berilmu tetapi menyadari bahwa dirinya tidak berilmu. Ia menyadari mengenai kekurangan pada dirinya. Sehingga ia bisa menerima ilmu dan mampu menempatkan diri di tempat yang sepatutnya.

Keempat, manusia yang tidak berilmu namun ia tidak menyadari bahwa dirinya tidak berilmu. Manusia di kategori ini akan selalu merasa dirinya mengerti dan memiliki ilmunya, meski ia tidak tahu apapun perihal apa yang dibicarakannya.

Manusia kategori keempat bisa kita jumpai dimana saja dan menyimpan risiko bahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Namun sayangnya, ia tidak menyadari apa yang dilakukannya dapat merugikan orang lain dan dirinya sendiri di saat yang sama.

Tipologi manusia kategori semacam ini biasanya susah untuk disadarkan. Ia merasa paling benar meski ia tidak tahu apa yang dibicarakannya dan cenderung akan melawan jika diingatkan perihal kesalahan yang dilakukannya.

Berbeda halnya dengan kategori ketiga, ia menyadari tidak berilmu sehingga bisa menahan diri untuk tidak berbicara mengenai apa yang ia tidak ketahui. Atau dengan kata lain, ketidaktahuannya tidak memiliki potensi bahaya bagi orang-orang di sekelilingnya.

Bodoh itu fitrah manusia, pembawaan dari lahir. Setiap manusia terlahir bodoh, saya juga terlahir bodoh, sampai sekarang pun masih. Sedangkan pembodohan itu sebuah pilihan yang dibuat.

Dalam kehidupan modern, mereka yang melakukan pembodohan justru orang-orang yang berpendidikan (tinggi). Oleh karena itu, pembodohan dalam hal ini bukanlah akibat kekurangan asupan pendidikan.

Pembodohan hanya akan berhenti sampai hal itu disadari oleh pelaku sebagai pihak yang menebar kerugian, sebab mereka dan para korbannya sama-sama menanggung akibat buruk.

Sementara orang lain memiliki hak untuk menghentikannya bukan karena ia telah menjadi korban, tetapi demi memenuhi kewajiban mencegah pembodohan itu meluas dan menimbulkan akibat yang lebih buruk lagi.

Singkatnya, mencegah pembodohan itu mewabah atau bahkan menjadi pandemi layaknya Covid-19.

Ilmuwan berpengengaruh seperti Thomas Alva Edison pernah dianggap bodoh dan melakukan pembodohan melalui 999 percobaan yang gagal sebelum ia sukses menemukan lampu pijar yang kita gunakan hari ini.

Orang-orang seperti Hadi Pranoto pun memiliki kesempatan yang sama untuk menghilangkan stigma "pembodohan" yang saat ini disematkan pada dirinya jika saja ia mampu untuk membuktikan klaim jamunya mampu menyembuhkan Covid-19.

Tidak menutup kemungkinan ia akan menjadi penerus Edward Anthony Jenner sebagai ilmuwan pertama yang mampu menemukan vaksin atau bahkan mampu berimprovisasi dengan membuat vaksin versi kearifan lokal melalui jamunya.

Selama ia belum mampu membuktikan klaimnya tersebut, saya patut bersyukur sebagai orang bodoh yang telah lama menghindari untuk tidak membahas hal-hal serupa di luar ilmu yang saya miliki. Setidaknya saya tidak memiliki potensi bahaya bagi orang-orang di sekitar saya.

Barangkali sampai detik ini hanya ada satu vaksin untuk pembodohan, yakni diam! Ya, cukup diam dan dengarkan para ahli, pakar atau profesor dalam arti sebenarnya.

Sebagaimana kata Imam al-Ghazali dalam kitabnya Faishilut Tafriqah bainal Islam wal Zindiqah yang berbunyi:

"Seandainya orang-orang yang bodoh berhenti bicara, niscaya berkuranglah pertentangan di antara sesama."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun