Sebagai seorang supreme leader yang dikenal tegas, beliau tentu akan mengambil langkah-langkah taktis dan efisien untuk meningkatkan kesadaran sekaligus melakukan penertiban agar masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan sesuai aturan PSBB yang diberlakukan.
Saking pentingnya posisi Soeharto, pengamat asing pernah berkelakar, "Pada tanggal 1 Oktober 1965, di Indonesia hanya ada seorang jenderal. Sisanya kopral." Dikutip dari tirto.id.
Kedudukannya menjadi lebih kuat setelah Presiden Soekarno memberikan perintah lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966.
Satuan komando yang dipanglimai langsung oleh Soeharto itu pada mulanya memiliki wewenang sebatas pemulihan keamanan dan ketertiban.
Namun, fungsi keamanan dari Kopkamtib semakin meluas, melebihi tujuannya semula. Mereka mulai memburu setiap orang yang berafiliasi dengan PKI yang dianggap sebagai biang kerok atas terjadinya peristiwa G30S/PKI.
Hingga akhirnya lembaga superpower itu menjadi alat utama pemerintah Orba untuk melakukan kontrol politik serta untuk menghadapi berbagai macam pemberontakan sipil.
Mereka memiliki wewenang menangkap, memata-matai, serta menginterograsi orang yang dicurigai melawan pemerintah. Jika Kopkamtib sudah turun, maka tidak ada lembaga lain yang bisa mencegah. Termasuk Polri dan ABRI.
Komnas HAM menyebut telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berat dalam tragedi 1965. Diantaranya meliputi pembunuhan, penyiksaan, pengusiran, pemerkosaan, penganiayaan, hingga penghilangan orang secara paksa.
Komnas HAM juga membuat kesimpulan Kopkamtib adalah lembaga yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat tersebut.
Bisa dibayangkan begitu tegas dan mengerikannya Kopkamtib ala Soeharto jika diterjunkan ke lapangan sebagai satuan keamanan untuk mengawal PSBB. Siapa yang berani membangkang? Kalaupun tidak ditembak di tempat, bisa dipastikan esok harinya akan menghilang tanpa jejak.